Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Benarkah Vape Bisa Dijadikan Alat Terapi Berhenti Merokok?

Vape diklaim sebagai produk yang lebih sehat, jika dibandingkan dengan rokok konvensional, bahkan dianggap sebagai alat terapi berhenti merokok

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Benarkah Vape Bisa Dijadikan Alat Terapi Berhenti Merokok?
Snowing/Freepik
Ilustrasi Sudah di Label Nicotine-Free, Peneliti Australia Ungkap Cairan Vape Mengandung Nikotin 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peningkatan jumlah perokok pemula (usia 10 s/d 18 tahun) di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Pemerintah selaku pemangku kewajiban, sampai saat ini, belum mampu secara optimal melindungi hak atas kesehatan warga negaranya dari dampak buruk rokok.

Belum tuntas menangani dan melakukan pengendalian produksi, konsumsi dan distribusi rokok konvensional, kini pemerintah disibukkan  dengan kemunculan produk tembakau alternatif yang sering disebut e-cigarette atau rokok-elektronik.

Kehadiran rokok elektronik seperti Vape, menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.

Vape diklaim sebagai produk yang lebih sehat, jika dibandingkan dengan rokok konvensional, bahkan dianggap dapat berperan sebagai alat terapi berhenti merokok.

Baca: Seniman Minang Zulfirman Syah yang Jadi Korban Penembakan di Selandia Baru Masih Koma

Meski sudah menjadi konsumsi publik, serta dipakai oleh berbagai lapisan kalangan, ironinya Indonesia sendiri juga belum memiliki regulasi yang jelas seputar produk Vape.

“Klaim yang menyatakan bahwa Vape lebih sehat dan aman dibandingkan rokok konvensional, sebenarnya tidak tepat," kata Iswandi, perwakilan Sub Direktorat Pengawasan Produk Tembakau BPOM, ketika menjadi menjadi pembicara di kegiatan Polemik Rokok Elektronik atau Vape di Indonesia di Jakarta belum lama ini.

Berita Rekomendasi

Sebagian besar produk Vape memiliki unsur nikotin, sehingga memiliki efek adiktif atau candu bagi penggunanya.

"Karena tergolong produk adiktif, terhitung sudah 98 negara membuat regulasi produk Vape, mulai dari regulasi pemasaran, regulasi penggunaan serta regulasi periklanan, promosi dan sponsorship produk,” ujarnya.

Vape juga dianggap berpotensi membiarkan perilaku merokok di masyarakat, khususnya bagi anak-anak dan remaja Indonesia.

Kehadiran Vape justru mempersulit visi pemerintah untuk mengurangi angka perokok anak yang tergolong sangat tinggi.

Ifdhal Kasim, selaku Koordinator Nasional Masyarat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau berharap debat Pilpres ketiga pada 17 Maret 2019, menjadi momentum bagi petahana dan oposisi untuk beradu strategi dan gagasan soal kebijakan untuk mengontrol produk adiktif di masyarakat.

Baca: Peneliti Australia Ungkap Cairan Vape dengan Label Nicotine-Free Ternyata Mengandung Nikotin

“Sejauh ini, belum terlihat secara jelas komitmen dari kedua pasangan untuk mengontrol produk adiktif, baik rokok konvensional maupun Vape,” kata Ifdhal.

Ifdhal juga menambahkan bahwa Vape dan produk tembakau alternatif lainnya, tidak berbeda dengan rokok konvensional.

Oleh sebab itu, pemerintah harus membatasi bahkan melarang penggunaannya, sebagai bentuk upaya perlindungan negara terhadap hak asasi warga negaranya untuk dapat hidup sehat dan terhindar dari dampak buruk produk yang mengandung zat adiktif.

“Kontrol terhadap Vape dan produk tembakau alternatif lainnya merupakan suatu keharusan demi melindungi hak kesehatan, hak anak, hak perempuan, dan hak seseorang untuk mendapatkan udara dan lingkungan yang bersih,” katanya.

Ifdhal juga menekankan bahwa perilaku merokok, baik vape maupun rokok konvensional, bukan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga keberadaan produk tembakau dalam bentuk apapun harus dibatasi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas