Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Impor Bahan Baku Obat Bakal Dikurangi, Pengusaha: Kurangi Impor Obat Diabetes, Pakai Fitofarmaka

Impor bahan baku obat yang tidak bisa dibendung memiliki dampak ekonomi terhadap hilangnya devisa negara

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Impor Bahan Baku Obat Bakal Dikurangi, Pengusaha: Kurangi Impor Obat Diabetes, Pakai Fitofarmaka
IST
Tanaman bahan baku obat 

TRIBUNUNEWS.COM, JAKARTA - Mengurangi impor bahan baku obat sesuai dengan harapan Presiden Joko Widodo menjadi hal yang tidak mustahil.

Hal ini mengingat Indonesia memiliki banyak produk obat lokal yang unggul soal kualitas dan telah bersertifikat Fitofarmaka, salah satunya produk diabetes yang telah diekspor ke beberapa pasar di Asia Tenggara seperti Kamboja dan Filipina.

Impor bahan baku obat yang tidak bisa dibendung memiliki dampak ekonomi terhadap hilangnya devisa negara.

Pada 2012 saja, Kementerian Perindustrian memperkirakan nilai impor bahan baku obat mencapai Rp 11,4 triliun, yang naik sebesar 8,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Impor bahan baku terbanyak saat ini berasal dari Tiongkok, India, dan kawasan Eropa. Tiongkok masih menjadi negara sumber pemasok terbesar kebutuhan bahan baku obat Indonesia, yakni mencapai Rp 6,84 triliun, yang disusul India Rp 3,42 triliun, dan Eropa Rp 1,4 triliun.

Tingginya ketergantungan impor bahan baku obat ini akibat tidak kuatnya industri kimia dasar di Indonesia. Kurangnya daya saing dan tingginya biaya dalam pengembangan industri kimia dasar menjadi faktor penyebab.

Baca: Heboh Kacaunya SEA Games 2019, Atlet Muslim Diberi Masakan Babi, Ada Atlet yang Tidur di Lantai

Selain itu, apabila industri kimia dasar hanya mengandalkan pasar farmasi nasional, kebutuhannya masih relatif kecil, hanya 0,3 persen hingga 0,4 persen dari pasar farmasi dunia.

Berita Rekomendasi

Kondisi ini tidak menguntungkan bagi industri kimia dasar dan harus mencari pasar ekspor yang saat ini sudah didominasi oleh Tiongkok, India, dan negara Eropa lainnya.

Solusi yang tidak kunjung tiba terhadap pengembangan industri kimia dasar ini membuat produsen farmasi tidak tinggal diam.

“Ketergantungan terhadap bahan baku obat impor itu dapat dikurangi melalui riset farmatologi. Riset ini menggunakan tanaman dan hewan sebagai obat, dengan memanfaatkan keragaman hayati yang menjadi warisan nenek moyang kita,” kata Executive Director Dexa Laboratories Biomolecular Sciences (DLBS) PT Dexa Medica, Dr Raymond Tjandrawinata.

Salah satu riset yang telah dilakukan DLBS adalah penemuan obat diabetes yang memanfaatkan keragaman hayati Indonesia, yakni tanaman Lagerstroemia speciosa (bungur) dan Cinnamomum burmannii (kayu manis).

Baca: 6 Kuliner Ekstrem di Indonesia, Berani Coba Makan yang Mana?

Penelitian terhadap dua bahan alam asli Indonesia yang dikenal dengan nama DLBS 3233 ini, telah dilakukan sejak tahun 2005 oleh ilmuwan Indonesia di DLBS.

Obat ini berfungsi untuk menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi ketergantungan bahan baku Metformin.

Untuk memastikan khasiat Inlacin tersebut, Dr Raymond melakukan penelitian multicenter, yakni penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh para dokter ahli, di dua pusat wilayah yakni area pertama di area Jakarta dan Bandung sedangkan area kedua adalah Surabaya dan Indonesia Timur.

Fokus penelitian multicenter ini adalah terapi Inlacin, Metformin, dan kombinasi Inlacin dan Metformin untuk pasien SOPK yang mengalami resistensi insulin.

Adapun SOPK adalah kelainan endokrin dan metabolik pada wanita usia reproduksi yang menjadi salah satu penyebab terbanyak dari kasus infertilitas.

Tidak kurang dari 5-10 persen wanita usia reproduksi yang menderita SOPK di Indonesia.

Menurut Prof. dr. Andon Hestiantoro, Sp.OG (K) yang memimpin penelitian di wilayah Jakarta-Bandung yakni Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS dr. Hasan Sadikin Bandung, Inlacin sebagai obat dengan kandungan bahan tradisional yang mendapat sertifikasi Fitofarmaka dari BPOM.

Baca: Jokowi Larang Impor Bahan Baku Obat

“Pada penelitian ini, kami ingin membandingkannya dengan Metformin sebagai obat standar yang diresepkan bagi pasien SOPK dengan resistensi insulin. Tujuannya adalah bagaimana keamanan Inlacin untuk terapi pasien SOPK resistensi insulin, dibandingkan Metformin. Dan bagaimana manfaat klinik serta manfaat metabolik antara Inlacin dan Metformin,” urai Prof. Andon.

Penelitian dilakukan selama enam bulan dan diukur setiap bulannya pada 124 pasien SOPK yang terbagi menjadi dua dengan jumlah 62 orang pasien masing-masing diberikan Inlacin 100 mg sekali sehari dan Metformin 750 mg dua kali sehari.

Adapun profil pasien memiliki kesamaan baik berupa umur maupun berart badan.

Hasil dari penelitian ini diperoleh Inlacin dan Metformin XR signifikan memberikan perbaikan resistensi insulin dalam subyek SOPK dalam terapi 3 dan 6 bulan.

Selain itu, Inlacin menunjukkan efek samping lebih rendah daripada Metformin.

Baca: Idap Kanker Paru-paru, Bobot Ibu Hamil di Kalbar Cuma 30 Kg: Tak Mampu Tebus Obat Rp 4,2 Juta

Hasil penelitian serupa juga diperoleh untuk wilayah Surabaya dan Indonesia Timur. Hanya saja, perbedaan dalam penelitian yang dipimpin oleh Prof. dr. Soehartono DS., SpOG dari RSUD dr. Soetomo Surabaya ini juga mengombinasikan terapi Inlacin dan Metformin.

Penelitian untuk pasien SOPK di Surabaya dan wilayah Indonesia bagian timur dilakukan di RSUD dr Soetomo Surabaya, RSUD dr Saiful Anwar Malang, RSUP Sanglah Bali, RSUP dr Karyadi Semarang, RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar, RSUD Ulin Banjarmasin, RSUD Prof. Dr. R.D. Kandou Manado kepada 186 pasien yang terbagi dalam tiga kelompok yakni untuk pasien SOPK dengan terapi Inlacin, Metformin, dan kombinasi Inlacin serta Metformin.

Hasil penelitian untuk wilayah ini, Metformin memberikan perbaikan resistensi insulin yang kuat pada tiga bulan pertama, dibandingkan Inlacin pada pasien SOPK.

Sementara untuk pengobatan SOPK pada jangka panjang atau lebih dari 3 bulan menunjukkan bahwa kombinasi antara Inlacin dan Metformin memberikan efek terapi yang lebih maksimal.

“Inlacin memberikan tingkat kejadian efek samping yang lebih rendah dibandingkan Metformin. Sehingga Inlacin dapat menjadi alternatif pengobatan SOPK bagi subyek yang tidak toleran terhadap efek Metformin,” jelas Prof. dr. Soehartono.

Prof. DR. dr. Budi Wiweko, SpOG (K), MPH yang merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada simposium “Syndrome Ovarium Policistic” mengungkapkan ada tiga alasan pemilihan DLBS 3233 sebagai insulin sensitizer pada pasien SOPK.

“Yang pertama, hasil studi membuktikan tidak kalah efek klinis dan efek samping yang lebih sedikit. Yang kedua uji klinisnya dilakukan multicenter di Indonesia oleh para pakar, ada Prof. Soehartono dan Prof. Andon. Dan yang ketiga, obat ini asli Indonesia,” kata Prof. Budi.

Baca: Daftar 5 Obat Lambung Ranitidin yang Ditarik BPOM, Ada Kandungan NDMA yang Berpotensi Picu Kanker

Penggunaan Inlacin untuk pasien diabetes maupun SOPK akan membantu pemerintah mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat.

Terlebih menurut Dr. Raymond, volume penggunaan obat herbal dengan khasiat yang terjamin akan meningkat jika obat herbal tersebut masuk dalam formularium nasional yang dapat diresepkan kepada pasien peserta BPJS.

Apabila hal tersebut terjadi, maka nilai tambah didapatkan dari hulu—yaitu petani penanam tumbuhan obat, sampai ke hilir—yaitu pasien yang diresepkan obat tersebut dan daya saing obat-obatan produksi dalam negeri akan meningkat.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas