Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Penelitian di China Sebut Obat HIV 'Kaletra' dan Obat Flu 'Arbidol' Belum Mampu Tangani Virus Corona

Penelitian di China Sebut Obat HIV 'Kaletra' dan Obat Flu 'Arbidol' Belum Mampu Tangani Virus Corona

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
zoom-in Penelitian di China Sebut Obat HIV 'Kaletra' dan Obat Flu 'Arbidol' Belum Mampu Tangani Virus Corona
GEOFF ROBINS / AFP
Seorang apoteker di apotek Farmasi Rumah Sakit Umum Toronto Immunodeficiency mengeluarkan Kaletra, obat AIDS yang dikenal sebagai protease inhibitor, 10 Agustus 2006 

TRIBUNNEWS.COM - Penelitian di China menemukan, obat HIV "Kaletra" dan obat influenza "Arbidol" tidak memiliki efek menyembuhkan pada pasien Covid-19 dengan gejala ringan ke cukup parah.

Seperti yang dilansir Forbes, Selasa (21/4/2020), studi tersebut merupakan penelitian acak kecil.

Hasil studi dipublikasikan di jurnal Med by Cell Press.

Ada 86 pasien virus corona yang dilibatkan dalam studi tersebut.

Sejumlah 34 pasien menerima Kaletra (lopinavir/ritonavir), 35 orang menerima Arbidol (umifenovir), dan 17 pasien lainnya hanya menerima perawatan suportif dan bantuan oksigen jika diperlukan.

Baca: Aparat Penegak Hukum Diminta Tindaklanjuti Keterangan Erick Thohir Soal Mafia Impor Alkes dan Obat

Para peneliti menemukan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam jangka waktu perawatan atau keparahan gejala mereka berdasarkan obat yang mereka minum.

Bahkan, beberapa peserta yang menggunakan Kaletra memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok terkontrol.

Seorang apoteker di apotek Farmasi Rumah Sakit Umum Toronto Immunodeficiency mengeluarkan Kaletra, obat AIDS yang dikenal sebagai protease inhibitor, 10 Agustus 2006
Seorang apoteker di apotek Farmasi Rumah Sakit Umum Toronto Immunodeficiency mengeluarkan Kaletra, obat AIDS yang dikenal sebagai protease inhibitor, 10 Agustus 2006 (GEOFF ROBINS / AFP)
Berita Rekomendasi

Studi lain tentang Kaletra, obat HIV yang diproduksi oleh AbbVie, yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada Maret, juga menyimpulkan obat itu tidak efektif.

Meski penelitian menyebut obat itu tidak efektif, pasar gelap untuk obat ini telah muncul di seluruh dunia, termasuk di Rusia, NY Times mengabarkan.

Meskipun kecil, penelitian ini mendepak dua dari perawatan virus corona yang sebelumnya dinilai potensial.

Menurut FDA, hingga saat ini, tidak ada obat yang disetujui untuk mengobati COVID-19.

Baca: Tiba-tiba Populer Disebut sebagai Obat Virus Corona, Daun Laban Simpan Sejumlah Khasiat Ini

Kaletra, obat HIV yang diproduksi oleh AbbVie, pertama kali direkomendasikan oleh pemerintah China untuk pengobatan virus corona pada Januari lalu.

Obat itu menghentikan replikasi virus HIV.

Para pejabat berharap Kaletra dapat melakukan hal yang serupa terhadap virus corona.

Kaletra kini masih sedang dipelajari dalam setidaknya 10 uji klinis aktif di seluruh dunia, menurut ClinicalTrials.gov.

Sementara itu Arbidol, obat yang dibuat di Rusia, bekerja melawan influenza dengan cara mencegah virus menyatu dengan sel-sel di dalam tubuh.

ilustrasi obat anti flu obat corona obat virus corona obat covid-19
ilustrasi obat anti flu

Meskipun telah menunjukkan beberapa kemanjuran terhadap influenza dan penyakit lain termasuk virus Zika, FDA belum menyetujui penggunaan Arbidol di AS.

Meskipun ada banyak jenis obat yang diteliti dan diujicoba untuk perawatan Covid-19, belum ada obat yang mampu melawan virus corona.

Sebuah studi pracetak baru (bukan peer-review) yang diposting hari ini menunjukkan, hydroxychloroquine (hidroksiklorokuin), obat antimalaria yang digembar-gemborkan oleh Presiden Trump, juga tidak menunjukkan manfaat bagi pasien virus corona.

Bahkan hidroksiklorokuin malah membuat beberapa di antaranya makin memburuk.

Studi Lain: Pasien Corona yang Diberi Hidroksiklorokuin Miliki Tingkat Kematian yang Lebih Tinggi

Diberitakan Tribunnews sebelumnya, sebuah studi yang meneliti ratusan pasien di pusat kesehatan US Veterans Health Administration, Amerika Serikat, memberi temuan baru mengenai efektivitas hidroksiklorokuin sebagai obat virus Corona.

Studi menunjukkan, pasien Covid-19 yang diberi hidroksiklorokuin justru memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak menggunakan obat itu.

Selain itu, hidroksiklorokuin juga tidak mengurangi penggunaan ventilator pada pasien.

Dilansir CNN, penelitian telah dirilis di medrxiv.org pada Selasa (21/4/2020).

Baca: Klorokuin Obat Corona Siap 3 Juta Buah, Yuri: Warga Tak Perlu Membeli

Baca: Apa Itu Avigan? Obat Corona Asal Jepang yang Dipesan Jokowi Sebanyak 2 Juta Butir

Studi didanai oleh National Institutes of Health dan University of Virginia.

Dari 368 pasien yang terlibat, 97 pasien yang menggunakan hidroksiklorokuin memiliki tingkat kematian 27,8 persen.

Sementara itu, 158 pasien yang tidak menggunakan obat memiliki tingkat kematian 11,4 persen.

"Peningkatan kematian secara keseluruhan diidentifikasi pada pasien yang diobati dengan hidroksiklorokuin saja."

"Temuan ini menyoroti pentingnya menunggu hasil studi prospektif, acak, dan terkontrol sebelum mengadopsi penggunaan obat secara luas," tulis para peneliti yang bekerja di Columbia VA Health Care System di South Carolina, University of South Carolina, dan University of Virginia.

Para peneliti juga melihat apakah menggunakan hidroksiklorokuin atau kombinasi hidroksiklorokuin dan antibiotik azitromisin dapat menggantikan penggunaan ventilator pada pasien.

Hasilnya, tidak berpengaruh apa pun.

"Dalam penelitian ini, kami tidak menemukan bukti bahwa penggunaan hidroksiklorokuin, baik dengan atau tanpa azitromisin, mengurangi penggunaan ventilasi mekanik pada pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit," tulis peneliti.

ILUSTRASI obat. Pemerintah mengaku sedang melakukan ujicoba terhadap obat asli Indonesia untuk vaksin corona.
ILUSTRASI obat. (pixabay.com)

Dalam studi terbaru lainnya, para peneliti di Perancis memerika rekam medis untuk 181 pasien Corona yang menderita pneumonia dan membutuhkan oksigen tambahan.

Sekitar setengah pasien tersebut menggunakan hidroksiklorokuin dalam waktu 48 jam setelah dirawat di rumah sakit.

Sementara itu, setengah pasien lainya tidak.

Hasil menunjukkan, tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam tingkat kematian kedua kelompok, atau peluang mereka untuk dirawat di ICU.

Namun, ditemukan delapan pasien yang menggunakan hidroksiklorokuin mengalami irama jantung yang abnormal.

Mereka pun harus berhenti meminumnya.

Penelitian ini juga belum ditinjau oleh rekan peneliti lain atau diterbitkan dalam jurnal medis.

Hingga kini, belum ada produk yang disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS untuk mencegah atau mengobati Covid-19.

Meskipun, penelitian global pada banyak obat sedang dilakukan.

Hidroksiklorokuin telah digunakan selama beberapa dekade untuk mengobati pasien dengan penyakit seperti malaria, lupus, dan rheumatoid arthritis.

Presiden AS, Donald Trump, telah mempromosikan hidroksiklorokuin sebagai 'penyembuh' Covid-19.

Dia mengatakan, efektivitas hidroksiklorokuin 'sangat menjanjikan'.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie/Citra Agusta Putri Anastasia)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas