Selama Pandemi Covid-19, 82 Persen Tenaga Kesehatan Alami Kelelahan Mental
Selama pandemi Covid 19, tenaga kesehatan berusaha sekuat tenaga melayani pasien Covid 19.
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih
TRIBUNNEWS.COM – Selama pandemi Covid 19, tenaga kesehatan berusaha sekuat tenaga melayani pasien Covid 19.
Selama itu, tercatat sudah 105 dokter yang gugur saat menjalankan tugas pelayanan kesehatan.
Yang masih bertugas juga mengalami kelelahan mental atau burnout syndrome.
Dari survei yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) terhadap 1461 tenaga kesehatan (dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis, perawat, bidan, apoteker, dan analis lab) ternyata, 82 persen mengalami burnout tingkat sedang, dan 1 persen tingkat berat, gejala rendah 17 persen.
Baca: Presiden Brasil Sebut Vaksinasi Covid-19 Tidak Wajib: Tak Ada Undang-Undang Mengaturnya
Burnout adalah sindrom psikologis akibat respon kronik terhadap stressor atau konflik.
Ada tiga karakteristik gejalanya yakni keletihan emosi (emotional exhaustion), kehilangan empati (depersonalization), dan rasa percaya diri (reduce personal accomplishment).
Ketua tim peneliti dari program studi MKK FKUI Dr dr Dewi S Soemarko, MS, SpOk mengatakan, burnout punya implikasi jangka panjang, ada 3 gejala yang perlu disingkapi.
Baca: Tambah 3.269 Kasus, Total Positif Covid-19 hingga 4 September 187 Ribu Orang
“Bagaimana bila ada yang bilang capek batin, bisa berimbas yaudah deh terserah, ngga ada motivasi, kehilangan percaya diri. Jangka panjangnya pada kinerja. Bila punya stress yang terus menerus tanpa berhenati perlu waktu yang lama untuk memulihkan mentalnya,” papar Dr Dewi saat menyimpulkan hasil penelitian pada Jumat (4/9/2020).
Penyebab dari burnout ini dari hasil penelitian karena kelelahan kerja, juga dikucilkan akibat stigma tenaga kerja kesehatan, kurangnya APD terutama di RS daerah.
“Kami tidak menanyakan secara detail, tapi responden mengatakan bahwa beberapa diantara mereka dikucilkan masyarakat, agak dibully karena mereka memberi pelayanan Covid. Tapi di dalam penelitian tidak ditanyakan tapi hanya informal,” ujar dokter Dewi.
Dekan FKUI Prof Dr dr Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB mengatakan, kasus burnout pada tenaga kerja harus segera dilakukan penanganan.
Solusi konkrit yang direkomendasikan ke pemerintah diantaranya mengurangi beban kerja, memfasilitasi layananan konseling.
“Kita berharap, kasus ini landai dan lebih rendah lagi ketika jumlah kasus meningkat dan gampang ke rumah sakit yang dihadapi adalah dokter dan perawat. Kita harus menekan kasus burnout,” katanya.
Menurut Prof Ari, jumlah dokter yang berpraktek di rumah sakit juga semakin menurun. Selain akibat yang gugur juga adanya pembatasan dokter yang berumur diatas 60 tahun dan memiliki penyakit penyerta (komorbid).
Tenaga kesehatan yang sudah menikah lebih stress
Dari survey tersebut juga terungkap bahwa tenaga kesehatan yang sudah menikah lebih stress ketimbang yang masih single.
“Yang menikah ternyata risikonya lebih besar mengalami burnout, karena manusia tidak terlepas dari keluarg ditambah lagi dengan beban kerja."
"Secara tidak langsung pasti kangen dengan keluarga pada saat bekerja. Para tenaga medis tidak pulang-pulang, sementara anak dan suami atau istri menunggu di rumah. Perasaan itu yang dipendam berbulan-bulan akan menimbulkan kelelahan dibatin,” papar dr Dewi.
Dokter Dewi meminta kepada masyarakat agar membantu menangani pandemi covid 19 secara bersama-sama.
Caranya dengan menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Tindakan itu untuk menolong diri sendiri dan orang lain.
“Jangan enak-enakan, lalu kalau masuk RS tiba-tiba penyakit parah menyalahkan tenaga kesehatan padahal dengan perilaku seperti itu (tidak mau pakai masker, red) menyusahkan semua orang, keluarga, tenaga medis, kalau meninggal protokol covid ditegakan hanya boleh petugas saja itu kan miris banget,” papar dr Dewi.