Nilai Ekonomi Teknologi Nuklir untuk Dunia Medis Internasional Capai Lebih dari Rp 50 Triliun
Pemanfaatan teknologi radioisotop untuk penanganan kanker, jantung dan penentuan diagnosis di dunia kedokteran nuklir, saat ini telah menghasilkan
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, TANGERANG SELATAN - Pemanfaatan teknologi radioisotop untuk penanganan kanker, jantung dan penentuan diagnosis di dunia kedokteran nuklir, saat ini telah menghasilkan nilai ekonomi cukup besar.
Nilainya mencapai sekitar 3,6 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara lebih dari 50 triliun rupiah, angka ini jika dihimpun dari skala internasional.
Seperti yang disampaikan Kepala Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Rohadi Awaludin di kompleks BATAN, Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Selasa (20/10/2020).
"Ekonominya secara internasional sudah 3,6 milyar dolar (AS), jadi 50-an triliun (rupiah) nilai ekonomi secara internasional," ujar Rohadi.
Para dokter nuklir di rumah sakit kini banyak yang menggunakan obat atau farmaka yang mengandung radioisotop, yang dikenal sebagai radiofarmaka.
Perlu diketahui, radioisotop merupakan suatu unsur radioaktif, sedangkan radiofarmaka adalah obat atau farmaka yang diberi tanda unsur radioaktif.
Salah satu negara yang mengandalkan radiofarmaka untuk menentukan diagnosis pasien adalah Jepang.
Negara yang berada di kawasan Asia Timur ini melakukan 2 juta diagnosis dalam satu tahun dan memiliki 1.500 fasilitas radiofarmaka.
Baca juga: BATAN Fokus Kembangkan Produksi Radioisotop dan Radiofarmaka untuk Kedokteran Nuklir
Sedangkan Indonesia, kata Rohadi, hanya memiliki 15 fasilitas dan diagnosis yang dilakukan menggunakan teknologi ini pun masih sekita 30 ribuan.
Bedanya seratus kali lipat dalam penggunaan fasilitas tersebut.
"Jepang diagnosis dua juta (setahun), seratus kali lipat (dari kita, fasilitasnya) Jepang 1.500, kita 15, skalanya 100 kali lipat tingkat penggunaannya," jelas Rohadi.
Di rumah sakit, para dokter nuklir memanfaatkan teknologi ini untuk penanganan terhadap pasien kanker, jantung dan ginjal.
Namun pada banyak negara, umumnya radiofarmaka digunakan untuk pengobatan kanker dan jantung.
"Pemanfaatan di kanker, jantung, kemudian ginjal, yang besar dimanfaatkan itu untuk kanker sama jantung sama semua negara," kata Rohadi.
Saat ini BATAN ditunjuk pemerintah menjadi koordinator untuk 3 Prioritas Riset Nasional (PRN) periode 2020 hingga 2024.
Satu diantaranya yakni untuk mengembangkan produksi radioisotop dan radiofarmaka pada bidang kesehatan, untuk mengurangu ketergantungan industri dalam negeri terhadap produk impor.
BATAN yang berada di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui PTRR mengembangkan produksi radioisotop dan radiofarmaka untuk penanganan terhadap penyakit kanker, baik untuk diagnosis maupun terapi yang memang banyak dibutuhkan di dalam negeri.
Dalam mengembangkan produksi radioisotop dan radiofarmaka ini, BATAN bekerja sama dengan PT Kimia Farma, LIPI, BPPT, Badan POM, Bapeten serta Universitas Padjadjaran.
Upaya pemerintah dalam mendorong kemandirian untuk memproduksi radioisotop dan radiofarmaka ini sebelumnya dipicu masih tingginya persentase produk yang diimpor, yakni mencapai angka di atas 90 persen.
Oleh karena itu, PRN ini terus didorong realisasinya untuk mengurangi ketergantungan pasokan dari luar negeri.
Terkait PRN khusus bidang kesehatan, terdapat 5 produk radioisotop dan radiofarmaka yang ditargetkan dikembangkan produksinya selama periode 2020-2024.
Mulai dari Generator Mo-99/Tc-99m yang menggunakan Mo-99 non fisi, lalu radiofarmaka berbasis Prostate Specific Membrane Antigen (PSMA).
Kemudian Kit radiofarmaka Nanokoloid HAS, selanjutnya Kit radiofarmaka EDTMP, serta Contrast agent berbasis gadolinium untuk MRI contrast agent.