Anemia Akibat Kekurangan Zat Besi, Ini Dampaknya pada Anak-anak, Jangan Anggap Sepele
Kekurangan zat besi khususnya pada anak memiliki dampak jangka pendek maupun jangka panjang.
Editor: Willem Jonata
Laporan wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih
TRIBUNNEWS.COM - Anemia, khususnya karena defisiensi zat besi, seperti lingkaran setan yang sulit diputus di Indonesia.
Kekurangan zat besi sudah terjadi saat remaja, dewasa, menikah, hamil, lalu punya anak lagi.
Anak-anak kekurangan zat besi lagi terutama saat pubertas. Begitu seterusnya. Padahal kekurangan zat besi tidak bisa dianggap remeh.
Kekurangan zat besi khususnya pada anak memiliki dampak jangka pendek maupun jangka panjang, misalnya gangguan pada perkembangan kognitif, motorik, sensorik serta perilaku dan emosi.
Terlebih saat anak memasuki usia sekolah, kekurangan zat besi akan berdampak pada kurangnya konsentrasi saat belajar, ketidakmampuan belajar, hingga perkembangan yang tertunda.
Namun, angka anemia pada balita cukup tinggi. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 (Riskesdas) menunjukkan 1 dari 3 anak balita Indonesia mengalami anemia. Data lain menunjukkan, lebih dari 40 persen anak balita di negara berkembang menderita anemia dan. 50-60 persen kasus anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi.
Baca juga: Anemia Pada Remaja Putri Berisiko Tingkatkan Stunting
Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, ahli Gizi Ibu dan Anak, mengatakan, zat besi adalah salah satu mikronutrien atau sering juga dikenal sebagai vitamin dan mineral yang sangat penting untuk mendukung kemampuan belajar anak.
“Jutaan anak mengalami pertumbuhan terhambat, keterlambatan kognitif, kekebalan yang lemah dan penyakit akibat defisiensi zat besi. Padahal, anak usia prasekolah membutuhkan dukungan lingkungan yang baik, terutama dukungan gizi seimbang, sehingga orangtua harus mengetahui kebutuhan gizi, cara pemenuhannya, serta upaya perbaikan gizinya," jelas Prof Fikawati saat menjadi diskusi virtual yang diadakan Danone belum lama ini.
Jika orangtua tidak waspada, dampaknya akan diketahui saat sudah terlambat. Meskipun seorang anak mungkin terlihat kenyang, bisa jadi tubuhnya tengah kelaparan akibat kekurangan zat gizi mikro.
Dokumen WHO menyatakan, ada bukti kuat melalui penelitian bahwa kekurangan zat besi terlihat secara meyakinkan menunda perkembangan psikomotor dan mengganggu kinerja kognitif anak prasekolah dan anak usia sekolah di Mesir, India, Indonesia, Thailand, dan Amerika Serikat.
IQ turun
Diperkirakan 30-80 persen anak di negara berkembang, mengalami kekurangan zat besi pada usia 1 tahun.
Anak-anak ini akan mengalami keterlambatan perkembangan kognitif maupun psikomotor.
Ketika mencapai usia sekolah, anak-anak ini akan mengalami gangguan kinerja dalam tes bahasa, keterampilan motorik, dan koordinasi, setara dengan defisit 5 hingga 10 poin dalam IQ.
IQ (intelligence quotient) adalah salah satu ukuran standar mengukur kecerdasan kognitif yang erat kaitannya dengan kemampuan mengingat, memahami, menganalisa, dan memecahkan masalah.
Menurut skala Stanford-Binet, IQ normal dikisaran 85 - 115. Dibawah 70 sudah disebut keterbelakangan mental.
Di atas 135 cerdas tapi konon hanya 1 persen saja dari populasi dunia yang memiliki IQ diatas 135.
Bayangkan bila kekurangan zat besi, pada kasus yang ekstrim harusnya masuk kategori normal, IQ diangka 80, akibat turun 10 poin jadi masuk keterbelakangan mental.
Prof Fikawati mengatakan, konsentrasi belajar menurun adalah salah satu tanda dan gejala anak kekurangan zat besi.
Akhirnya performa belajarnya pun turun. Ia malas mengerjakan tugas dan PR.
Secara fisik, tambah bagian bawah mata anak pucat, sering pusing, kuku dan telapak tangan tampak pucat, serta mengalami gejala 5L (lemah, letih, lesu, lelah, lalai).
"Kekurangan zat besi mengganggu performa intelektual dan performa kognitif, serta terlambatnya psikomotorik pada anak usia pra sekolah. Pada anak usia 6-16 tahun yang mengalami defisiensi besi memiliki nilai matematika dan membaca yang lebih rendah ketimbang anak yang normal," paparnya.
Pola Makan tidak seimbang
Penyebab kekurangan zat besi paling banyak disebabkan oleh pola makan tidak seimbang dan adanya gangguan proses penyerapan zat besi.
Prof Fikawati mengatakan, kekurangan mikronutrien sering disebut sebagai 'kelaparan tersembunyi' karena dampaknya tidak akan langsung terlihat.
Namun berkembang secara bertahap dari waktu ke waktu. Padahal grafik pertumbuhan otak dan fisik mengalami peningkatan pesat.
Bila tidak bisa mengoptimalkan pertumbuhan itu, sel-sel otak tidak tumbuh optimal dan tidak bisa dikejar.
Kekurangan gizi terutama zat besi bersifat irreversible, bila sudah rusak akan permanen dan tidak bisa diperbaiki.
Untuk mencegahnya, krtika anak sudah berusia 1 tahun keatas dan bisa mengonsumsi makanan rumah, orangtua perlu memastikan konsumsi makanan yang mengandung zat besi secara teratur.
Zat besi bisa ditemukan pada daging sapi dan ayam, hati, telur, kacang-kacangan, ikan, dan sayuran.
Tidak hanya itu, orangtua juga perlu memastikan konsumsi makanan sumber vitamin C untuk mendukung penyerapan zat besi.
Kombinasi zat besi dengan vitamin C juga dapat ditemukan pada makanan dan minuman terfortifikasi zat besi dan vitamin C seperti susu pertumbuhan untuk anak di atas 1 tahun.
"Orangtua harus mengukur status gizi anak dan memantaunya melalui KMS (kartu menuju sehat). Kadang anak terlihat normal-normal saja, tapi melalui KMS bisa dilihat apakah pertumbuhn anak sudah sesuai dengan kurva perumbuhan," jelas Prof. Fikawati.
Kekurangan zat besi tidak terjadi secara mendadak, namun bertahap. Diawali dari penurunan jumlah zat besi, lalu tubuh pun mulai membuat lebih sedikit sel darah merah.
Anak usia 1-3 tahun membutuhkan 7 mg zat besi setiap hari. Kadar zat besi dalam tubuh dipengaruhi oleh konsumsinya.
Kalau pola makan tidak seimbang, penyerapan zat besi di saluran cerna terganggu, dan cadangan zat besi kurang, maka anak bisa kekurangan zat besi.
Protein hewani seperti daging, ikan, unggas, dan hati adalah sumber zat besi heme, yang penyerapannya sangat baik di saluran cerna. Agar daging mudah dikunyah dan tidak ditolak oleh anak, masaklah daging hingga lunak.
Sementara tanin yang terkandung dalam teh, kopi, dan cokelat, serta bikarbonat dalam minuman bersoda bisa menghalangi penyerapan zat besi.
Beri jeda 2 jam sebelum atau sesudah makan bila ingin memberi anak makanan/minuman tersebut.
Untuk meningkatkan penyerapan zat besi, barengi dengan asupan vitamin C. Vitamin C sebaiknya diberikan sebelum makan karena dengan situasi yang asam, zat besi lebih mudah diserap di saluran cerna.
Susu memiliki skor cerna protein yang paling tinggi dibandingkan makanan lainnya. Susu yang difortifikasi zat besi mudah diserap usus, terlebih bila susu juga difortifikasi vitamin C.
Ketua Himpunan pendidik dan tenaga kependidikan anak usia dini Indonesia (Himpaudi) Pusat, Prof. Dr. Ir. Hj. Netti Herawati, M.Si mengatakan hak sehat adalah hak bagi setiap anak Indonesia.
Anak berhak mendapat kesehatan dan makanan. Anak yang kekurangan zat besi menunjukkan belum terpenuhinya hak anak mendapatkan makanan dan pendidikan yang berkualitas.
"Pendidikan anak usia dini tidak sekedar tepuk tangan. Inilah yang akan menyambungkan sinaps-sinaps otak anak. Bila sinaps tidak terbangun diusia dini, sel otak tidak terpakai lagi. Sel-sel otak yang kita gunakan diusia dewasa adalah yang kita bangun dan kembangkan diusia dini. Itulah peran zat besi," kata Prof Netti di kesempatan yang sama.
Danone Specialized Nutrition Indonesia juga menyediakan sebuah platform daring untuk membantu orang tua bisa melakukan tes risiko terjadinya kekurangan zat besi pada si Kecil melalui fitur di dalam situs www.generasimaju.co.id.
Pada situs ini, orangtua dapat menemukan serangkaian artikel terkait topik nutrisi termasuk kekurangan zat besi dan bagaimana cara mengatasinya, serta berbagai artikel mengenai tips untuk mendukung anak menjadi Anak Generasi Maju.
“Fitur ini diharapkan dapat membantu orangtua mendeteksi kekurangan zat besi pada anak sejak dini dan bagaimana stimulasi yang perlu dilakukan agar dapat mendukung mereka menjadi generasi maju,” tutur Corporate Communication Director Danone Indonesia Arif Mujahidin.