Viral Unggahan Soal Diagnosa Mental Illness Lewat Situs Web, Bolehkah Dilakukan? Ini Kata Psikolog
Beredar cuitan di Twitter tentang seseorang yang mendiagnosis diri sendiri mengidap gangguan mental berdasarkan hasil tes online di situs web.
Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Di media sosial Twitter sempat beredar cuitan tentang seseorang yang mendiagnosis diri sendiri mengidap gangguan mental atau mental illness berdasarkan hasil tes online di salah satu situs web.
Cuitan tersebut diunggah di akun menfess @tubirfess pada Minggu (14/3/2021).
Hingga saat ini cuitan tersebut telah mendapatkan 860 retweet dan disukai oleh 7.018 pengguna Twitter.
Dalam postingan tersebut, pengunggah memberikan sebuah foto tangkapan layar akun TikTok yang mengaku dirinya mengidap Bipolar setelah melakukan tes di salah satu situs web.
Atas foto tersebut pengunggah pun berkomentar jika seorang profesional saja harus melakukan berkali-kali proses pengkajian untuk mengeluarkan sebuah diagnosis.
Sementara pemilik akun TikTok tersebut malah mencoba mendiagnosis diri sendiri lewat hasil tes online yang diikutinya.
Baca juga: WFH Bukan Berarti Gak Cantik, Ternyata Dandan di Masa Pandemi Bisa Jaga Kesehatan Mental
Pendapat Psikolog Tentang Diagnosis Melalui Tes Online
Lantas, apakah diagnosis berdasarkan tes online ini boleh dilakukan dan bisa dipertanggung jawabkan hasilnya?
Perlu diketahui sebelumnya, mendiagnosis diri sendiri biasa juga disebut dengan self diagnose.
Menurut Dosen Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS), Laelatus Syifa SA mengatakan, self diagnose berarti ketika orang mencoba untuk melakukan diagnosis diri sendiri, terhadap gangguan atau kesehatan mental yang dialami.
Sebenarnya istilah self diagnose tak hanya ada dalam ranah kesehatan psikis atau mental, tapi juga kesehatan dari segi fisik.
"Self diagnose itu berarti orang mencoba untuk melakukan diagnosis terhadap gangguan atau kesehatan mental yang dialami."
"Mungkin self diagnose bukan hanya kesehatan mental, intinya kan mendiagnosis diri sendiri tanpa berkonsultasi terlebih dahulu kepada ahli," kata Latus kepada Tribunnews.com pada Rabu (18/3/2021).
Baca juga: Gandeng Dunia Seni, WHO Luncurkan Kampanye Global Pulihkan Kesehatan Mental Korban Pandemi
Disebutkan juga, perilaku self diagnose tidak baik untuk dilakukan seseorang sebab orang tersebut akan mensugesti dirinya sebagai orang sakit.
"Sebenarnya hal ini tidak baik untuk dilakukan karena ketika kita melakukan self diagnose kita itu sebenarnya sedang menduga-duga tanpa ada data."
"Jadi ketika seseorang itu telah mengecap dirinya sendiri dengan label tertentu, gangguan tertentu, maka orang tersebut bisa mensugesti dirinya sendiri, memperlakukan dirinya sendiri sebagai si sakit."
"Padahal belum tentu diagnosisnya itu betul," imbuhnya.
Sebagai contohnya adalah cuitan di Twitter sebelumnya yang menjelaskan bahwa orang tersebut melakukan self diagnose bipolar.
Maka orang tersebut akan memperlakukan dirinya sebagai orang yang menderita bipolar.
"Ibarat kalau tadi di Twitter itu dia mendiagnosis kalau dia bipolar, maka dia akan memperlakukan dirinya sebagai orang yang sakit."
"Sedangkan memperlakukan diri sebagai orang yang sakit itu memberikan label-label negatif yang dimiliki oleh gangguan mental tersebut, padahal belum tentu benar."
"Ya siapa tau dia melabeli dan memperlakukan dirinya seperti itu malah memengaruhi keberfungsiannya di lingkungan. Jadi menurut saya itu tidak bagus," tegasnya.
Baca juga: Gandeng Dunia Seni, WHO Luncurkan Kampanye Global Pulihkan Kesehatan Mental Korban Pandemi
Bahaya Self Diagnose
Latus menuturkan bahwa tidak dilarang untuk seseorang peduli dengan kondisi kesehatan mentalnya.
Apalagi jika kondisi tersebut sudah menganggu keberfungsian orang tersebut di kehidupan sehari-hari.
Namun jangan sampai melakukan self diagnose.
Jika melakukan self diagnose maka konsekuensinya adalah orang tersebut akan melabeli dirinya, padahal belum tentu benar.
"Kita tidak dilarang untuk peduli terhadap diri kita. Jadi misal kita merasa bahwa ada sesuatu yang menganggu dalam diri kita di kehidupan sehari-hari. Kok aku gini ya?"
"Artinya kita membaca atau mecari referensi atau mungkin bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang pernah mengalaminya itu tidak masalah."
Baca juga: Kesehatan Tubuh dan Mental Masyarakat Prioritas Utama di Tengah Pandemi Covid-19
"Karena itu sebenarnya bentuk kalau kita peduli terhadap diri kita. Tetapi jika sudah sampai mendiagnosis itu yang keliru."
"Karena ketika mendiagnosis itu ada konsekuensinya, yang pertama tadi kita jadi melabeli diri sendiri padahal itu tidak benar," terang dosen FK UNS ini.
Padahal ketika seseorang mendapat diagnosis tertentu. setelahnya akan ada tindakan yang harus diambil.
Tindakan tersebut juga harus terarah tidak bisa asal-asalan.
"Seharusnya ketika kita sudah terdiagnosis gangguan tertentu seharusnya kan ada tindakan."
"Jangan sampai self diagnose dan tidak ada tindakan yang terarah dari ahli dan self diagnose itu belum tentu benar."
"Jadi itu yang membuat self diagnose menjadi perilaku yang tidak tepat untuk dilakukan," ujarnya.
Baca juga: Manfaat Kesehatan yang Bisa Diperoleh dari Buah Nanas
Waspadai Sumber Tes Online
Memang di zaman yang serba digital seperti sekarang ini kita bisa dengan mudahnya menemukan berbagai platform untuk melakukan tes online terkait kondisi kesehatan mental seseroang.
Namun yang perlu menjadi catatan adalah, apakah sumber yang digunakan dalam tes online tersebut bisa dipercaya.
Tak hanya itu, sumber yang digunakan juga harus berdasar dari penelitian ilmiah.
Latus pun menegaskan, jika sumber tes online tersebut bisa dipercaya, biasanya hasilnya pun berupa kecenderungan bukan berupa diagnosis.
"Untuk tes online, pertama sumbernya dulu, apakah tes online itu bersumber dari orang-orang yang membuatnya bersumber dari penelitian ilmiah, kita perlu tahu itu."
"Kalau memang berdasarkan penelitian ilmiah biasanya hasilnya itu bukan pada diagnosis, tapi hasilnya berupa kecenderungan."
"Jadi kecenderungan ini kalau kita memiliki kecenderungan yang besar berarti kita perlu peduli terhadap diri kita. Oh apakah saya punya kecenderungan menuju kesana ya," tegasnya.
Baca juga: Simak 9 Manfaat Puasa Bagi Kesehatan: Meremajakan Sel Sel Tubuh, Menyeimbangkan Kadar Asam dan Basa
Kemudian jika kecenderungan tersebut telah menganggu keberfungsian di kehidupan sehari-hari maka Latus menyarankan untuk segera konsultasi langsung dengan profesional.
"Apabila itu menganggu ke kehidupan sehari-hari dan keberfungsian tadi, akan lebih baik untuk diteruskan ke profesional," kata Latus.
Ia menambahkan, tidak semua tes online dibuat berdasarkan ilmu pengetahuan dari scientists.
Namun ada juga yang sumbernya bukan dari referensi primer.
"Jadi kalau misalkan tes-tes online itu ada yang iseng-iseng berhadiah. Enggak semuanya dibuat berdasarkan ilmu pengetahuan dari scientists. Ada yang dibuat berdasarkan dari buku yang sumbernya bukan dari referensi primer."
"Jadi itu dari buku ke majalah terus kemana. Kita kan enggak tahu orang yang membuat aplikasi ini sumbernya dari mana dan terpercaya tau enggak. Jadi sumber pembuatnya harus diwaspadai," jelasnya.
Baca juga: WHO Bersama Uni Eropa Buat Kerja Sama Baru Dukung Respons Covid-19 dan Sistem Kesehatan di Indonesia
Menyikapi Keberadaan Tes Online
Latus pun memberikan sikapnya terhadap keberadaan tes online ini.
Menurutnya jika tes online tersebut sudah terverifikasi maka identitas konselornya akan bisa dilacak.
Karena profil konselor ini dinilai menjadi hal yang penting.
"Sikap kita terhadap konsultasi online, kalau konselor konsultasi online itu profesional dan terferivikasi, orangnya lulusan dari mana kemudian identitasnya bisa dilacak."
"Kalau Anda ingin melakukan konsultasi online Anda perlu melihat profil yang menjadi konselor anda. Jika itu psikolog apakah itu betul, jadi perlu benar-benar dilacak," ucap Latus.
Baca juga: Soal Temuan Susu Formula Berbakteri, Peneliti: Negara Abai Terhadap Kesehatan Anak
Lebih lanjut Latus menekankan biasanya jika kasusnya darurat dan sifatnya diagnosis maka akan dirujuk untuk bertemu dengan profesional yang ada di lingkungan orang tersebut.
"Jadi ada second opinion yang bertemu langsung dengan orang tersebut," imbuhnya.
Terakhir, Latus menilai tes online untuk mengukur kondisi kesehatan mental boleh dilakukan asalkan digunakan dengan tepat.
"Jadi sikap kita terhadap tes online itu tidak apa-apa untuk dilakukan selama digunakan dengan tepat."
"Namun jika tidak digunakan dengan tepat maka akan membahayakan," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani)