Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Sering Bohong Tanpa Sebab, Bisa Jadi Ciri Pembohong Patologis

Kadang-kadang seseorang melakukan kebohongan lebih sering daripada orang kebanyakan serta tanpa memiliki motif tertentu.

Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Sering Bohong Tanpa Sebab, Bisa Jadi Ciri Pembohong Patologis
People Development Magazine
Ilustrasi pembohong. fenomena pembohong patologis, harus dibedakan dari bentuk-bentuk kebohongan lain yang sama-sama kronis tapi memiliki motif yang jelas di balik kebohongannya. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kadang-kadang seseorang melakukan kebohongan lebih sering daripada orang kebanyakan serta tanpa memiliki motif tertentu.

Bisa jadi ciri hal itu sebagai pembohong patologis.

Dosen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Nido Dipo Wardana SPsi MSc, menuturkan terdapat perbedaan pemahaman antara orang awam dan para tokoh psikologi atau psikiatri terkait dengan fenomena satu ini.

“Penting untuk dipahami dari pembohong patologis adalah orang yang berbohong tapi tanpa ada sebab yang jelas kenapa mereka berbohong,” kata Nido dikutip dalam laman Unair, Rabu (6/4/2022).

Ia melanjutkan, fenomena pembohong patologis, harus dibedakan dari bentuk-bentuk kebohongan lain yang sama-sama kronis tapi memiliki motif yang jelas di balik kebohongannya.

Ada bentuk-bentuk pembohong kronis lainnya yang juga suka berbohong tapi motifnya bisa diidentifikasi.

Baca juga: Masih Canggung dengan Keanu, Angelina Sondakh Ungkap Beban Psikologis: Saya Bukan Ibu yang Baik

Berita Rekomendasi

Tidak hanya itu, ia juga mengatakan, penyebab seseorang menjadi pembohong patologis belum diketahui secara pasti lantaran fenomena itu belum mendapat banyak perhatian ilmiah.

Namun, dari sudut pandang biologis, Nido menjelaskan, terdapat perbedaan cara kerja otak pada orang dengan kebiasaan berbohong patologis utamanya di bagian otak depan.

“Hal ini menyebabkan seorang pembohong patologis kurang mampu mengendalikan impuls atau dorongan, untuk melakukan kebohongan,” ujarnya.

Dari sudut pandang psikologis sendiri, seseorang dengan kebiasaan berbohong patologis ini kerap kali ditemui pada individu yang memiliki harga diri rendah.

“Kadang-kadang, konten kebohongan yang dia buat itu adalah bentuk dari semacam ideal self-nya,” ujar Nido.

Seorang pembohong patologis, tidak jarang akan mengalami stres dalam kehidupan sehari-harinya.

Hal itu, lanjutnya, disebabkan karena memiliki tuntutan untuk terus menyebarkan kebohongan lain untuk menjelaskan kebohongan yang ia lakukan sebelumnya.

Baca juga: Orangtua Perlu Menjelaskan Secara Psikologis pada Anak saat Akan Vaksin Covid-19

“Itu semacam rantai yang susah diubah sehingga secara komitmen memberatkan individu karena harus berpikir keras untuk fabricating informasi yang tidak benar,” ujar Nido.

Selanjutnya, ia menegaskan, mengingat masih minimnya studi mengenai fenomena pembohong patologis itu, belum diketahui pasti apakah kondisi tersebut dapat dihilangkan atau tidak.

Perlu untuk dipastikan terlebih dahulu apakah fenomena itu sama dengan gangguan kompulsif lainnya.

“Kalau misalnya kita tempatkan pembohong patologis di posisi yang sama dengan gangguan kompulsif, maka asumsinya adalah bisa dibantu untuk menghilangkan kebiasaan ini. Tentu saja dengan terapi serta mungkin nantinya bisa dikembangkan medikasi dan segala macam,” jelas Nido.

Nido mengatakan, untuk menghadapi orang dengan sifat berbohong yang patologis, tentu bukan perkara yang mudah.

Jika orang terdekat seperti teman atau bahkan pasangan merupakan seorang pembohong patologis, Nido menyarankan agar tidak menghadapinya dengan konfrontasi penuh.

“Coba konfirmasi informasi dalam kebohongannya, kemudian dibantu untuk melihat bahwa mereka sudah sering berbohong. Bisa diajak berpikir bagaimana solusi selanjutnya,” kata Nido.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas