Dokter Mata: Status Mata Saat Ini Berpengaruh pada Status Sosial Ekonomi Anak di Masa Depan
Myopia merupakan cacat penglihatan yang sangat umum dialami banyak orang karena ini adalah kelainan refraksi paling umum di dunia
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjaga kesehatan mata tentu menjadi hal yang sangat penting, karena mata merupakan salah satu organ tubuh yang dapat menjadi 'alat penglihatan' bagi manusia.
Namun di masa pandemi virus corona (Covid-19) seperti saat ini, banyak masyarakat termasuk anak-anak yang mengalami gangguan fungsi mata.
Hal itu karena dampak pandemi yang 'memaksa' semua orang harus lebih banyak melakukan kegiatan di depan layar komputer maupun gadget lainnya.
Kelompok anak-anak pun tidak sedikit mengalami gangguan ini, biasanya gangguan yang dialami adalah rabun jauh (Myopia).
Lalu apa itu Myopia?
Dikutip dari laman Emergency Live, Kamis (11/8/2022), Myopia merupakan cacat penglihatan yang sangat umum dialami banyak orang karena ini adalah kelainan refraksi paling umum di dunia.
Saat membahas mengenai myopia, pemicunya tidak hanya karena faktor genetik saja, namun juga gaya hidup.
Baca juga: Dengan Mata Terpejam Bharada Eliezer Tembak Brigadir J, Deolipa Yumara: Saking Takutnya
Mulai dari menghabiskan waktu berjam-jam di tempat tertutup dengan penerangan yang buruk, hingga terlalu lama dan sering melihat layar televisi, komputer, smartphone maupun tablet.
Terlebih di masa pandemi ini, banyak orang yang terpaksa melakukan nyaris seluruh aktivitas hanya di dalam rumah dan menggunakan perangkat elektronik lebih lama dari biasanya, baik saat bekerja maupun pembelajaran jarak jauh.
Hal inilah yang akan menimbulkan konsekuensi negatif pada mata mereka, termasuk munculnya kondisi mata minus.
Myopia merupakan kelainan refraksi yang paling umum, yakni kelainan yang ditandai dengan ketidakmampuan mata untuk fokus pada gambar secara tajam sehingga menyebabkan penglihatan menjadi kabur.
Umumnya gangguan ini terjadi pada usia sekolah dan meningkat selama periode perkembangan anak serta cenderung stabil pada sekitar usia 20 hingga 25 tahun.
Pada usia 20 hingga 25 tahun, biasanya kondisi ini hanya akan mengalami sedikit peningkatan, kecuali jika ada patologi tertentu yang membuatnya memburuk secara cepat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi pada tahun 2050, sekitar 50 persen atau setengah populasi dunia akan menderita Myopia.
Lalu apa yang menyebabkan seseorang mengalami Myopia ?
Myopia bisa saja disebabkan faktor genetik, namun sejumlah penelitian dalam beberapa tahun terakhir juga menunjukkan adanya korelasi erat antara Myopia dengan gaya hidup.
Secara khusus, gangguan ini lebih sering terjadi terutama pada anak-anak, mereka yang menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan dengan pencahayaan minim, serta mereka yang melakukan aktivitas seperti mengamati benda-benda yang berdekatan dengan mata selama beberapa jam seperti gadget.
Dengan demikian, penggunaan gadget dapat memperburuk kondisi Myopia pada remaja, karena merupakan aktivitas proksimal yang dilakukan di dalam ruangan.
Lalu apa saja gejala yang dialami mereka yang mengalami Myopia ?
Gejala utama yang kerap dialami mereka yang mengalami gangguan ini adalah penglihatan kabur saat melihat objek yang jauh.
Perlu diketahui, semakin besar cacat visual, maka semakin pendek jarak di mana seseorang dapat melihat secara baik.
Bahkan mereka yang mengalami kondisi ini perlu menyipitkan mata agar bisa fokus pada objek yang jauh.
Istilah Myopia berasal dari kata Yunani 'Myo', yang berarti 'menutup' dan menunjukkan kebiasaan yang umumnya dilakukan orang-orang yang mengalami rabun dekat yakni menyipitkan mata untuk melihat secara lebih baik dari kejauhan.
Melihat meningkatnya kasus Myopia pada anak di masa pandemi ini, klinik pelayanan kesehatan mata ZAF Eye Care bekerja sama dengan Pemerintahan Kota Administrasi Jakarta Selatan mengadakan acara Bakti Sosial Pemeriksaan Mata dan Pemberian Kacamata Gratis untuk anak usia Sekolah Dasar (SD) yang tidak mampu di wilayah tersebut.
Founder dan CEO ZAF Eye Care, dr. Zoraya Ariefia Feranthy, Sp.M., mengatakan bahwa dari hasil bakti sosial ini, pihaknya memperoleh data yang cukup mengkhawatirkan terkait gangguan fungsi mata pada anak ini.
"Dari 246 peserta dengan rentang usia 6 hingga 12 tahun, didapatkan sebesar 73,17 persen anak dengan kelainan refraksi," kata dr. Zoraya. dalam keterangan resminya.
Kendati demikian, gangguan tersebut dapat diatasi melalui pemberian kacamata yang tepat bagi mereka yang mengalami kelainan refraksi.
"Kelainan refraksi seperti minus, plus, dan astigmatisme atau silinder ini adalah penyebab gangguan penglihatan yang dapat diatasi dengan pemberian kacamata yang tepat," jelas dr. Zoraya.
Sedangkan untuk anak yang mengalami mata minus, diperoleh data sebesar 59,75 persen.
Dari data yang diperoleh itu, minus yang dialami anak-anak tersebut dimulai dari -0.50 hingga -11 dan silindris murni sebesar 13,41 persen.
Selain itu, ada pula 1 anak yang mengalami kasus katarak 1 anak dengan glaukoma, dan mata malas atau amblyopia mencapai 17,48 persen.
Melalui pemeriksaan mata pada 246 anak usia 6 hingga 12 tahun di kawasan Jakarta Selatan itu diperoleh hasil diagnosis anak yang memiliki Ptosis sebesar 0,4 persen, Glaukoma 0,4 persen, Katarak 0,4 persen, Alergi 10,2 persen, Astigmatisme 13,4 persen, mata normal 15,5 persen, dan yang paling besar adalah Myopia mencapai 59,8 persen.
Menurut dr. Zoraya, semua orang harus menyadari pentingnya status penglihatan saat ini.Karena status penglihatan saat ini sangat mempengaruhi status sosial dan ekonomi anak-anak di masa mendatang.
Oleh karena itu, ia pun mengajak seluruh masyarakat untuk meningkatkan kesadaran terkait pentingnya melakukan pemeriksaan mata secara rutin, terutama bagi anak-anak.
"Saya berharap dengan adanya kegiatan bakti sosial ini, bisa semakin meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan mata," tegas dr. Zoraya.
Selain Dr. Zoraya Ariefia Feranthy, Sp.M., acara bakti sosial yang diadakan pada 5 Agustus lalu dan diikuti oleh 246 anak usia SD ini turut didukung pula oleh 5 Dokter Spesialis Mata lainnya yakni dr. Kianti Raisa Darusman, Sp.M(K)., MMedSci., dr. Rizki Rahma Nauli, Sp.M., dr. Antonius Dwi Juniarto, Sp.M., dr. Sri Hudaya, Sp.M., dan dokter Kepala Instalasi Gawat Darurat dr. Gia Pratama.