Jutaan Orang Meninggal Akibat AMR, Bagaimana dengan Indonesia? Ini Penjelasan Prof Tjandra
Prof Tjandra Yoga Aditama jika antibiotik bisa mengalami resistensi. Antimicrobial resistance (AMR), sehinggga mengakibatkan jutaan orang meninggAL.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Mantan Direktur Penyakit Menular serta Mantan AMR focal point, WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama jika antibiotik bisa mengalami resistensi, atau antimicrobial resistance (AMR), sehinggga mengakibatkan jutaan orang meninggal.
Resistensi merupakan kemampuan bakteri untuk menahan, melawan, dan menghentikan efek membinasakan dari obat antibiotik.
Baca juga: Penggunaan Obat Antibiotik Bakal Diatur, Ada 1,2 Juta Kematian Akibat Resistensi Mikroba
"Suatu keadaan dimana antimikroba. Bisa dalam bentuk antibiotik, anti virus, anti jamur, anti parasite, anti tuberkulosis dan sebagainya. Tidak lagi dapat menjalankan fungsinya untuk menangani infeksi akibat berbagai bakteri, kuman, virus, jamur, parasit," ungkapnya pada keterangan resmi, Kamis (25/6/2022).
Namun, pada pertemuan G 20 di Bali, Prof Tjandra menyebutkan jika terdapat berbagai data di dunia yang cukup mencengangkan.
Yaitu, ada 4 dampak yang bisa disebabkan oleh AMR.
Pertama, tambahan beban kesehatan sampai 1 trilyun.
Kedua, sebanyak 28 juta orang hidup dalam kemiskinan.
Baca juga: Mudah Diperoleh Tanpa Resep, Dokter Ingatkan Bahaya Konsumsi Antibiotik Sembarangan
Ketiga, 7,5 persen penurunan ternak pada 2050 mendatang.
Keempat, pada negara berpenghasilan menengah dan kecil, satu orang anak meninggal setiap tiga menit akibat Infeksi darah yang disebabkan bakteri yang resisten
Data lain dari Jurnal Ilmiah Internasional Lancet bulan Januari 2022, menyebutkan bahwa ada 643.381 kematian akibat malaria, lalu 700.660 kanker payudara, sebanyak 863.837 akibat HIV/AIDS dan 1.270.000 akibat AMR. Jadi AMR menjadi salah satu penyebabnya kematian lebih besar.
Belum Ada Data Nasional
Saat ini, Prof Tjandra mengatakan jika memang belum punya data berskala nasional tentang dampak AMR. Namun, perlu diformulasikan dengan tepat.
Karena AMR disebut sebagai “silent pandemic” maka masalahnya tentu terjadi banyak negara, termasuk Indonesia.
"Pada waktu masih bertugas di WHO Asia Tenggara saya selain sebagai Direktur Penyakit Menular juga menjadi “focal point” AMR untuk kawasan ini. Ketika itu sudah berhasil dbuat empat hal," katanya menambahkan.
Baca juga: WHO Minta Saran Publik untuk Nama Baru Cacar Monyet, Ini Sejumlah Usulan yang Masuk
Pertama, rencana kerja semua negara dalam bentuk “AMR National Action Plan”. Menurut Prof Tjandra, akan baik kalau rencana kerja tersebut, sekarang ini dilihat bagaimana hasilnya.
Sehingga, rencananya kemudian dapat diakomodasi sesuai dengan tantangan terakhir.
Kedua, juga dimulai pelaksanaan pengumpulan data negara anggota di Asia Tenggara untuk masuk dalam data dunia dalam bentuk "Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS)".
Ketiga, saya juga memulai program “Tripartite AMR country self-assessment survey (TrACSS)” untuk mengetahui bagaimana program AMR berjalan, dimana Indonesia juga turut serta.
Keempat, pelaksanaan "World Antimicrobial Awareness Week" satu tahu sekali sebagai bahan peningkatan pemahaman dan advokasi, tingkat dunia, regional dan negara, termasuk Indonesia.
"Semoga semua kegiatan ini dapat terus ditingkatkan di masa datang, dan semoga Indonesia dapat menangani “silent pandemic” AMR ini. Hal baik yang dilakukan adalah mencari istilah Indonesia untuk AMR, dapat berupa “Resistensi Anti Mikrobial (RAM)," pungkasnya.