Sulit Menahan Buang Air Kecil, Ketahui Terapi Mengatasi Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine umumnya dialami oleh lansia, dan lebih sering dialami oleh wanita dibandingkan pria.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kesehatan dasar panggul sangat penting bagi wanita, baik karena fungsinya yang memang tidak ternilai harganya maupun risiko yang mau tak mau harus dilewati perempuan sepanjang hidupnya.
Proses mulai dari janinan dalam kandungan, pertumbuhan kehamilan, melahirkan dan penuaan jika tidak dipantau dengan baik bisa berakhir pada kerusakan atau kelainan hingga kelemahan organ dasar panggul.
Seperti diketahui pada wanita dasar panggul baik tulang dan otot-ototnya memiliki fungsi mulia untuk menjaga posisi kandung kemih, rahim dan sistem pencernaan.
Dasar panggul mirip ikatan seperti pada ayunan yang merentang mulai dari tulang pubik di depan, hingga dasar tulang belakang.
“Jika dasar panggul, rusak atau lemah, risiko yang mungkin terjadi bisa sangat beragam. Mulai Prolaps Organ Panggul (POP), inkontinensia urine, inkontinensia fekal, hingga masalah disfungsi seksual,” kata dr. Nadir Chan, Sp.O.G, Subsp.Urogin RE, dari Jakarta Urogynecology Center (Juncenter), RS YPK Mandiri, Jakarta, Kamis (6/10/2022).
Dari semua masalah ini, inkontinensia urine termasuk yang cukup sering terjadi.
Inkontinensia urine adalah kondisi ketika seseorang sulit menahan buang air kecil sehingga mengompol. Inkontinensia urine umumnya dialami oleh lansia, dan lebih sering dialami oleh wanita dibandingkan pria.
Inkontinensia urine adalah kondisi ketika penderita mengeluarkan urin tanpa kendali saat beraktivitas ringan seperti batuk, tertawa, bersin, berlari atau mengangkat beban berat.
Semua kegiatan yang menambah beban dasar panggul penderita akan membuat kebocoran pada kandung kemih tanpa bisa ditahan lagi.
Baca juga: Mengeluh Sakit Perut, Ternyata Ada Kabel Charger HP Sepanjang 61 Cm dalam Kandung Kemih Pria Ini
Termasuk pertambahan berat badan penderita atau akibat kehamilan yang kondisinya tak terpantau.
Sebuah penelitian di Amerika Serikat bahkan menyebut, dari 25 juta orang berusia di atas 18 tahun yang mengalami berbagai jenis inkontinensia urin, ternyata 85 persennya adalah perempuan.
Di Juncenter solusi untuk mengatasi inkontinensia urine ini sangat beragam, tergantung pada hasil konsultasi dan derajat keparahan kondisi pasien.
Pengobatan inkontinensia urine ada dua acara, yaitu pengobatan non operasi dan operasi. Pengobatan dengan cara non operasi bisa dimulai dengan latihan kegel, penggunaan kursi elektromagnetik, dan femilift.
Ketika terapi tersebut sudah tidak mungkin dilakukan terapi bisa melalui tindakan operasi, baik yang sifatnya minimally invasive surgery atau bedah terbuka. Keuntungan terapi minimally invasive hanya meninggalkan luka sayatan ringan.
Berikut beberapa tindakan yang bisa dilakukan di Juncenter RS YPK Mandiri, untuk mengembalikan kondisi akibat inkontinensia urine seperti penggunaan terapi kursi elektromagnetik.
dr. Nadir Chan, Sp.O.G, Subsp.Urogin RE mengatakan, terapi kursi elektromagnetik bisa dilakukan sembari duduk biasa dan tetap menggunakan busana lengkap.
Saat terapi dijalankan, kursi magnet akan menginduksi kontraksi otot supramaksimal dengan mengeluarkan getaran yang membuat dasar panggul hingga otot terdalam berkontraksi setara dengan 11.000 hingga 20.000 gerakan Kegel. Hanya dalam waktu 30 menit.
Otot-otot dasar panggul akan terlatih kembali secara merata. Demikian pula dengan kontrol neuromuskularnya. Kursi magnetik termasuk tindakan non-invasif. Namun meski tanpa rasa nyeri, beberapa hari pasca tindakan pasien mungkin akan merasakan seperti habis olahraga sedang hingga berat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan BTL Research, 95 persen dari pasien inkontinensia urin menyatakan perbaikan kondisi dari hari ke hari setelah penggunakan kursi elektromagnetik. Sementara 85 persen lagi menyatakan merasa kepuasan hubungan intimnya menjadi lebih baik.
Meski demikian kursi elektromagnetik tidak dianjurkan penggunaannya pada beberapa kondisi, yakni wanita hamil dan pengidap masalah jantung dan pasien kanker, menggunakan implant metal atau IUD, alat pacu jantung atau pompa medis, mengalami endometriosis dan luka di sekitar area yang akan diterapi dan mereka yang berusia kurang dari 18 tahun, indeks massa tubuh kurang dari 25.
Selain TOT dan kursi magnetik ada pula FemiLift sebagai terapi masalah dasar panggul yang termasuk minimally invasive. Femilift menggunakan teknologi laser CO2.
Femilift tak hanya untuk menangani masalah inkontinensia urin semata. Tapi secara luas bisa untuk juga untuk mengembalikan keremajaan (rejuvenasi) area panggul dan area intim bagian luar dan dalam. Baik penampilan maupun sensasinya tanpa bedah.
Hanya dengan 1-3 kali terapi, jaringan kulit dan mukosa dipanaskan hingga terbentuk kolagen baru. Kolagenlah yang paling menentukan kekenyalan sebuah jaringan.
Prosedurnya juga cukup sederhana. Sebuah alat berbentuk tube kecil berisi laser CO2 akan dimasukkan ke vagina. Alat ini kemudian menembakkan sinar secara merata, berputar 36 derajat ke seluruh permukaan dinding rahim. Kedalaman sinar hanya sekitar 3 milimeter dari permukaan kulit.
Bagaimana dengan penelitian penggunaan FemiLift untuk mengurangi gejala inkontinensia urin tipe tekanan? Pada 2002 pernah dilakukan penelitian oleh para dokter ahli Fernandi Moegni, Nadir Chan, Budi I. Santoso, Raymond Surya dan Leonardo Tanamas.
Dua puluh subjek ikut dalam penelitian menggunakan terapi laser CO2 terfraksi intravaginal tiga sesi berbeda, dengan jarak satu bulan menggunakan laser CO2 terfraksi Femilift dari Alma Lasers.
Pasien diminta mengisi quesioner tak hanya tentang keluhan inkontinensia urin mereka, tapi juga kualitas hidup dan kualitas kehidupan seksual. Perineometri dilakukan juga untuk menguji hasil dari penelitian ini.
Hasilnya penilaian pada minggu keempat setelah sesi terapi ketiga, menunjukkan peningkatan yang signifikan perbaikan kondisi para pasien inkontinensia urin dengan terapi Femilift.
Teknologi bidang kedokteran semakin memungkinkan pembedahan dilakukan seminimal mungkin (minimally invasive surgery). Salah satunya adalah penggunaan transobturator tape untuk kasus inkontinensia urin yang bisa dilakukan di Juncenter, RS YPK Mandiri, Jakarta.
Beberapa keuntungan dari tindakan minimally invasive seperti luka lebih kecil dan lebih cepat sembuh, waktu rawat pasien di rumah sakit lebih singkat, operasi jauh lebih cepat, alat yang dipakai untuk operasi lebih sedikit dan mengurangi risiko infeksi akibat operasi
Bagaimana prosedur Transobturator Tape (TOT) dijalankan? Sebuah pita transobturator berbentuk jaring-jaring dipasang melintang di dasar panggul untuk menahan urethra tetap berada di posisi normalnya.
Sayatan kecil dibuat pada dinding vagina dan tape permanen dimasukkan melalui vagina dan diletakkan di bawah uretra. Jarum yang digunakan untuk memasukkan tape dijalankan melalui sayatan kecil di dua bagian atas paha. Prosedur TOT dilakukan dengan anastesi total.
Prosedur ini dilakukan agar pengidap punya lebih banyak kendali akan kandung kemihnya. Pita transobturator terbuat dari polipropilen elastisitas rendah yang tak akan larut selama berada dalam tubuh.
Cukup banyak penelitian tentang TOT di dunia. Sebuah penelitian pada 2001 tercatat dari 124 pasien yang dirawat dengan teknik TOT ini, setelah diikuti selama 3, 6 dan 12 bulan, terbukti tidak ada komplikasi intra-operatif yang diamati. Pada bulan ke 12 juga terlihat, 88,7 persen pasien sembuh dan 6,4 persen menunjukkan perbaikan.
Tingkat keberhasilan dari prosedur ini berdasarkan Informasi Pasien pada 2005 oleh National Institute of Clinical Excellence (NICE) adalah 82-96 persen.
Dikutip dari National Library of Medicine, pada sebuah penelitian tahun 2017 berjudul “A study of transobturator tape in stress urinary incontinence”, menunjukkan hasil prosedur TOT pada 67 orang pasien berhasil cukup baik. Pada hari ke-3 pascaoperasi, 61 pasien menyebut kondisinya sangat membaik dan 6 orang lagi menyatakan membaik.