Sejarah AIDS Pertama Kali Ditemukan, Sebelumnya sudah Teridentifikasi Temuan HIV
Inilah sejarah AIDS pertama kali ditemukan di dunia maupun di Indonesia. Ditemukan sekitar tahun 1980an.
Penulis: Enggar Kusuma Wardani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Inilah sejarah Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pertama kali ditemukan di dunia hingga Indonesia.
AIDS merupakan perkembangan dari infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang tidak cepat ditangani.
Dikutip dari komplids.fkm.unej.ac.id, HIV pertama kali ditemukan ditemukan di Kinshasa, Republik Demokratik Kongo pada 1920.
Sementara, AIDS pertama kali ditemukan sekitar tahun 1980an.
Penemuan AIDS ini bermula pada akhir tahun 1981 dijumpai adanya infeksi HIV yang semakin meluas.
Infeksi tersebut menjangkit 270 pasien dengan kerusakan kekebalan tubuh berat pada pria homoseksual dan 121 kasus meninggal dunia.
Baca juga: 12.553 Anak di Indonesia Terinveksi HIV, Kemenkes Bertekad Akhiri Epidemi AIDS pada Tahun 2023
Tak hanya itu, pada orang yang terinfeksi HIV tersebut juga ditemukan akibat dari penggunaan narkoba suntik.
Untuk lebih lengkapnya, berikut sejarah AIDS pertama ditemukan di Indonesia:
Pada Awal 1987-1996
Kasus AIDS pertama ditemukan di Indonesia pada tahun 1987.
Diketahui jumlah kasus HIV positif mencapai 381 dan 154 kasus AIDS yang ditemukan dalam kurun waktu 10 tahun sejak pertama kali ditemukan, atau pada akhir 1996.
Sebelumnya, pada tahun 1985 sudah ada pasien di Rumah Sakit Islam Jakarta yang diduga menderita AIDS.
Adapun penemuan kasus AIDS pertama tersebut ditemukan pada seorang homoseksual.
Hal inilah yang menyebkan adanya dugaan penyebaran AIDS di Indonesia serupa dengan di negara-negara lain yang muncul pada kelompok homoseksual.
Lalu mulai pada tahun 1990, infeksi HIV dan AIDS mulai menyebar melalui hubungan heteroseksual.
Baca juga: Perbedaan HIV dan AIDS, Beserta Penularan dan Pengobatannya
Pada 1997-2006
Selama periode 1997 hingga 2006, jumlah kematian karena AIDS mencapai 1.871 orang dari total 8.194 kasus.
Pada tahun 1997 pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia baru dilakukan oleh 22 Provinsi.
Sedangkan mulai tahun 2006, sudah ada 33 Provinsi yang melaporkan adanya kasus HIV/AIDS.
Kasus AIDS terbanyak dilaporkan terjadi pada kelompok usia produktif yakni 20-49 tahun, dengan jumlah mencapai 7.369 kasus.
Setelah itu, mulai ditemukan adanya kasus AIDS pada bayi atau anak kurang dari 15 tahun.
Diduga anak-anak dengan HIV/AIDS ini tertular melalui ibunya saat kehamilan, persalinan ataupun saat pemberian ASI.
Selain itu, HIV/AIDS pada anak juga bisa disebabkan karena transfusi darah/komponen darah atau akibat pemaksaan seksual oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Pada 31 Desember 2006, pelaporan kasus paling banyak terjadi melalui penggunaan NAPZA suntik , disusul penularan melalui hubungan heteroseksual.
Diketahui hingga 31 Desember 2006, jumlah Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang dilaporkan yakni mencapai 13.424 kasus.
Adapun rincian jumlah tersebut terdiri dari 5.230 kasus HIV dan 8.194 kasus AIDS.
Baca juga: Faktor Risiko Penularan AIDS, Berikut Perbedaan Antara HIV dan AIDS
Periode 2007-2013
Pada akhir tahun 2007 diperkirakan 4,9 juta orang telah terinfeksi HIV di Asia.
Dari 11.856 kasus yang dilaporkan pada tahun 2009, 6962 diantaranya berusia produktif , termasuk 55 orang bayi di bawah 1 tahun.
Pada tahun 2009 diperkirakan jumlah ODHA meningkat menjadi 333.200 orang, yang 25 persen diantaranya adalah perempuan.
Kementrian Kesehatan memperkirakan bahwa tanpa meningkatkan upaya pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan dari masing-masing daerah, jumlah ODHA diestimasikan naik menjadi 501.400 orang pada 2014 dari 227.700 ditahun 2008.
Pengobatan HIV/AIDS
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) telah menyetujui sejumlah obat untuk pengobatan HIV dan AIDS.
Perlu diketahui, sejumlah obat tersebut memiliki efek sampingnya masing-masing.
Pengobatan ini diketahui hanya dapat mengurangi infeksi penyebaran HIV dan tidak dapat menyembuhkan AIDS secara total.
Obat yang digunakan untuk pengobatan HIV dan AIDS ini termasuk dalam golongan Antiretroviral (ARV).
ARV merupakan bagian dari pengobatan HIV dan AIDS untuk mengurangi risiko penularan HIV.
Selain itu, ARV juga dapat menghambat perburukan infeksi oportunistik, meningkatkan kualitas hidup penderita HIV, dan menurunkan jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi.
Pengobatan HIV dan AIDS melalui ARV dapat digunakan untuk ibu hamil agar mencegah penularan HIV ke janin.
Sebagai catatan, pengobatan ini harus dilakukan rutin dan diminum sesuai jadwal, di waktu yang sama setiap hari agar perkembangan virus dapat dikendalikan.
Adapun daftar obat untuk pengobatan HIV dan AIDS tersebut di antaranya:
Baca juga: Cara Pengobatan AIDS, Bisa untuk Mencegah Penularan HIV dari Ibu Hamil ke Janin
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)
Obat ini dapat menghambat penggandaan virus dan meperlambat penyebaran HIV dalam tubuh.
Berikut rincian obat yang termasuk sebgai NRTI:
- Abacavir (Ziagen, ABC)
- Didanosin (Videx, dideoxyinosine, ddI)
- Emtricitabine (Emtriva, FTC)
- Lamivudine (Epivir, 3TC)
- Stavudin (Zerit, d4T)
- Tenofovir (Viread, TDF)
- Zalcitabine (Hivid, ddC)
- Zidovudine (Retrovir, ZDV atau AZT)
Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan NRTI berbeda-beda, tergantung pada individu.
Ada baiknya, penggunaan NRTI berdasarkan saran dan informasi dari dokter.
Baca juga: Orang dengan HIV dan AIDS Rentan Kena Tuberkulosis
2. Protease Inhibitors (PI)
Obat ini disetujui oleh FDA karena dapat menghambat repilkasi virus pada tingkat selanjutnya dalam siklus virus.
Obat yang termasuk dalam Protease Inhibitors yakni:
- Amprenavir (Agenerase, APV)
- Atazanavir (Reyataz, ATV)
- Fosamprenavir (Lexiva, FOS)
- Indinavir (Crixivan, IDV)
- Lopinavir (Kaletra, LPV/r)
- Ritonavir (Norvir, RIT)
- Saquinavir (Fortovase, Invirase, SQV)
Sama seperti NRTI, efek samping yang ditimbulkan oleh obat PI berbeda-beda setiap individu.
Penderita AIDS wajib berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu sebelum mengonsumsi obat PI.
3. Dolutegravir
Dikutip dari laman Kemkes, Pada bulan Juli 2018 WHO telah merekomendasikan dolutegravir yang merupakan obat dari golongan kelas penghambat integrase atau Integrase Inhibitor (INIs).
Dolutegravir dapat digunakan untuk pengobatan HIV sebagai alternatif pada terapi yang menggunakan efavirenz.
Cara kerja Dolutegravir yakni dengan menghambat integrase, enzim yang dibutuhkan oleh HIV untuk memasukkan virus ke dalam DNA dari sel T CD4 pejamu.
Dolutegravir menghambat pekerjaan enzim ini, dengan akibat DNA HIV tidak dipadukan pada DNA sel induk.
HIV menulari sel tersebut, tetapi tidak mampu menggandakan diri.
(Tribunnews.com/Enggar Kusuma)