Mengenal Skoliosis dan Penanganannya, Remaja Perempuan Lebih Berisiko Ketimbang Laki-laki
Skoliosis adalah gangguan atau abnormalitas tulang belakang yang menyerupai huruf S atau huruf C.
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Semua umat manusia dikaruniai tulang belakang yang berfungsi membentuk tubuh agar bisa duduk dan berdiri tegap termasuk untuk mendukung aktivitas sehari-hari, dari bekerja hingga bersantai.
Tulang belakang manusia dimulai dari leher sampai tulang ekor yang tersusun atas ruas ruas yang bertumpuk tumpuk.
Dilihat dari belakang, tulang belakang terlihat lurus, namun faktanya ada lengkungannya, ada yang cembung ke depan dan ke belakang. Di bawah tulang ekor misalnya, cembung ke belakang.
Sementara, dilihat dari samping, terdapat kurva lordosis dan kifosis.
"Masalah yang sering muncul pada tulang belakang adalah bentuk tulang yang tidak simetris," ujar dr Omar Luthfi SpOT (K) Spice, RS Premier Bintaro, Jakarta Selatan, saat memberikan paparan tentang skoliosis di acara buka puasa dengan awak media di Jakarta, Kamis, 7 April 2023.
Menurut dr Omar, keluhan yang muncul seputar tulang belakang adalah nyeri punggung bawah yang diakibatkan cedera otot, cedera bantalan tulang belakang, syaraf terjepit hingga penuaan tulang belakang.
Jenis keluhan lainnya yang kerap ditemui terkait tulang belakang adalah infeksi dan trauma atau patah tulang belakang.
Dalam dunia kesehatan, gangguan pada tulang belakang disebut dengan istilah Skoliosis.
Baca juga: Kenali Gejala Dini Skoliosis pada Anak, Penderitanya Bisa Alami Gangguan Jantung dan Paru-Paru
Ini adalah gangguan atau abnormalitas tulang belakang yang menyerupai huruf S atau huruf C.
"Gejala skoliosis suka tidak disadarai apalagi jika orang tersebut badannya besar. Kelainan skoliosis ringan tidak bergejala dan tidak tampak," ujar dr Omar.
Sementara, pada kelainan berat, bersifat progresif, terlihat terjadi perubahan pada bentuk tulang belakang, muncul rasa pegal atau nyeri punggung serta gangguan pernafasan.
Jenis-jenis skoliosis
Skoliosis memiliki beragam jenis. Ada jenis skiolosis struktural. Skioliosis jenis ini bersifat Idiopatik, tanpa diketahui penyebab pastinya. "Sebanyak 80 persen kasus skioliosis berjenis ini," ungkap dr Omar.
Pada kasus skoliosis kongenital, didapat atau terjadi sejak lahir. Sementara pada kasus skoliosis degeneratif terjadi karena proses penuaan.
Ada juga skoliosis neuromuskular, yang terjadi akibat gangguan sistem syaraf dan otot. Pada kasus skoliosis non struktural, terjadi karena postur/kebiasaan, ketegangan otot, dan kelainan panjang tungkai.
Kasus skioliosis idiopatik, terjadi pada anak usia nol sampai tiga tahun, dengan potensi terjadi 1 persen. Ada juga skioliosis lainnya jenis Juvenie yang terjadi pada anak usia sampai 4 sampai sepuluh tahun dengan peluang terjadi tiga persen.
Dr Omar mengatakan, kasus skoliosis kebanyakan ditemukan pada usia remaja yakni di rentang usia 11-18 tahun, sebanyak 90 persen. "Sebanyak 2 sampai 4 persen remaja mengalami skoliosis. Risiko terkena pada remaja perempuan lebih besar dibanding laki-laki dengan perbandingan 10: 1," kata dia.
Karena itu, langkah screening skioliosis pada anak perempuan disarankan di rentang usia 8 sampai 13 tahun. "Skioliosis sering tampak atau paling progresif terjadi pada masa puncak pertumbuhan remaja," jelasnya.
Gejala-gejala yang muncul dari tanda-tanda skoliosis antara lain adalah tubuh tampak asimetris, bahu tampak tinggi sebelah dan panggul tanpak tinggi sebelah.
Mendeteksinya Mudah, Lakukan Cara Ini
Dr Omar menjelaskan, untuk mendeteksi skioliosis, cara pemeriksaannya mudah. Caranya, luruskan tangan ke depan, lalu pertemukan kedua telapak tangan. Lalu bungkukkan badan ke depan. Pemeriksa melihat dari belakang dalam posisi duduk.
Upaya penanganan pasien skoliosis menurut dr Omar, membutuhkan tindakan operasi. Tindakan operasi ini melibatkan sejumlah tim dokter termasuk dokter ahli syaraf
"Teknologi operasi skiolosis saat ini sudah menggunakan teknologi paling baru yakni Robotic Spine Surgery untuk bisa dilakukan pemasangan screw seakurat mungkin, dengan akurasi mencapai 99 persen, bahkan untuk kasus yang sulit," sebutnya.
Teknologi ini juga sangat meminimalkan risiko dan komplikasi pemasangan implan. Sementara, proses penyembuhan luka pasca operasi dibutuhkan waktu sekitar 2 minggu.
Drg. Kencana Widya, MARS., Manager Marketing RS Premier Bintaro mengatakan, tujuan kegiatan sharing session dengan media tentang skoliosis kali ini adalah untuk mendukung program pemerintah agar masyarakat tidak perlu berobat ke luar negri.
Dia mengatakan, rumah sakitnya memiliki Robotic Spine Surgery yang dinamakan Robbin. Alat ini digunakan salah satunya adalah untuk penanganan kasus Skoliosis dengan menggunakan teknologi AI (Artificial Intelegence).
"Di Asia Tenggara alat ini hanya ada di Indonesia yang salah satunya adalah di RS Premier Bintaro," ujarnya.
Selain itu, untuk penanganan kasus skoliosis ini pihaknya juga memiliki program screening skoliosis yang secara aktif terjun ke sekolah-sekolah maupun kampus dengan membawa serta dokter spesialis spine orthopedi dan tim Ramsay Spine Center.