Konsensus Skrining Kanker Paru Nasional Diluncurkan, Cegah Kanker Lebih Awal
Berdasarkan prevalensi global dari American Lung Cancer Association saja, 90 persen pasien kanker paru data dengan stadium lanjut.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Yayasan Kanker Indonesia, dengan AstraZeneca, Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), luncurkan 'Konsensus Skrining Kanker Paru Indonesia.'
Peluncuran konsensus bersamaa dengan rangka memperingati Hari Kanker Paru Sedunia 2023.
Salah satu rekomendasi dalam Konsensus Nasional baru adalah mengenai Skrining Kanker Paru.
Terkait skrining ini, Presiden Direktur AstraZeneca,Se Whan Chon, menekankan penting untuk meningkatkan tingkat diagnosis yang rendah.
Berdasarkan prevalensi global dari American Lung Cancer Association saja, 90 persen pasien kanker paru data dengan stadium lanjut.
“Padahal, ketika kanker paru-paru terdeteksi pada stadium 1 dan 2, tingkat kelangsungan hidup meningkat secara signifikan," ungkap Se Whan pada peluncuran konsensus skrining kanker paru-paru di Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Selain itu, biaya terapi berkurang secara signifikan bagi pasien dan pemerintah.
Lebih lanjut, para ahli mendorong peralihan dari sinar-X dada yang tradisional menjadi prosedur yang lebih canggih.
Dikenal sebagai tomografi komputer berdosis rendah (LDCT),3.
Menggunakan komputer dengan sinar-X berdosis rendah untuk menghasilkan serangkaian gambar dan dapat membantu mendeteksi kelainan paru-paru, termasuk tumor.
Baca juga: Orang Merokok Berisiko 15 Hingga 30 Kali Lebih Tinggi Menderita Kanker Paru-paru
Empat Uji klinis di Amerika Serikat yang melibatkan lebih dari 50.000 peserta telah menunjukkan penurunan relatif 20 persen dalam kematian akibat kanker paru dengan skrining LDCT.
Dengan terobosan teknologi baru, skrining kanker paru dapat dibantu dengan kecerdasan buatan.
Melibatkan penggunaan algoritma komputer dan teknik pembelajaran mesin untuk menganalisis data gambar medis.
Seperti CT scan atau sinar-X dada, atau gambar relevan lainnya.
Algoritma kecerdasan buatan ini dapat membantu dalam mendeteksi nodul paru-paru, lesi.
Atau pola yang mencurigakan yang dapat mengindikasikan keberadaan kanker paru pada populasi berisiko tinggi.
Direktur pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular Kementerian Kesehatan TDr. Eva Susanti, S. Kp, M.Kes pun turut memberikan apresiasi.
“Kami mengapresiasi upaya Yayasan Kanker Indonesia, AstraZeneca, PDPI, dan IASTO secara bersama sama agar kita dapat meningkatkan program skrining nasional untuk kanker paru-paru," kata dr Eva pada kesempatan yang sama.
Menurutnya ada beberapa hal penting yg harus dilakukan, yaitu fokus pada identifikasi populasi berisiko tinggi melalui adopsi Kuesioner Profil Risiko Kanker Paru.
Lalu, eksplorasi potensi penggunaan teknologi inovatif seperti CT scan berdosis rendah.
"Dan kecerdasan buatan untuk membantu radiolog dalam mengidentifikasi pertumbuhan yang berpotensi kanker pada tahap awal. Sehingga pasien kanker paru dapat dideteksi dan diobati lebih awal," tutupnya.