Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Diduga Dibully di Rumah Sakit, Ribuan Calon Dokter Spesialis Depresi hingga Ingin Bunuh Diri

Ribuan calon dokter spesialis depresi bahkan ingin bunuh diri setelah mengalami perundungan atau aksi bully yang diduga dialami di Rumah Sakit.

Penulis: Anita K Wardhani
zoom-in Diduga Dibully di Rumah Sakit, Ribuan Calon Dokter Spesialis Depresi hingga Ingin Bunuh Diri
Reader's Digest
Ilustrasi dokter. Ribuan calon dokter spesialis depresi bahkan ingin bunuh diri setelah mengalami perundungan atau aksi bully yang diduga dialami di Rumah Sakit. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ribuan calon dokter spesialis depresi bahkan ingin bunuh diri setelah mengalami perundungan atau aksi bully.

Parahnya, bully ini dialami para calon dokter spesialis saat mereka menjalani program pendidikan dokter spesialis (PPDS) RS vertikal.

Baca juga: Ramai Kasus Depresi Calon Dokter Spesialis, Profesor Tjandra Beri Lima Rekomendasi Tindak Lanjut

Ini sesuai data yang dilancir Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI).

Terungkap data mencengangkan bahwa dari survei skrining kesehatan jiwa peserta per Maret 2024 hasilnya menunjukkan banyak calon dokter spesialis mengalami masalah mental.

Tercatat ada 3,3 persen peserta PPDS yang menjalani skrining teridentifikasi ingin bunuh diri atau melukai diri sendiri.

Data ini diungkap lewat skrining kesehatan jiwa menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9 atau PHQ-9.
Kuesioner dijawab oleh total 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024 lalu.

Baca juga: Gejala Depresi Dialami 2.716 Calon Dokter Spesialis, Diduga karena Ada Perundungan di RS Vertikal 

Untuk hasil rincian data sebanyak 2.716 (22,4 persen) PPDS mengalami gejala depresi yaitu 1.977 (16,3 persen) depresi ringan, 486 (4 persen) depresi sedang, 178 (1,5 persen) depresi sedang-berat, dan 75 (0,6 persen) depresi berat.
Angka 2.716 atau 22,4 persen ini datang dari calon dokter yang sedang menempuh berbagai pendidikan spesialisasi.

Berita Rekomendasi

Dan dalam 2 minggu terakhir, 3,3 persen PPDS merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun dengan rincian:

1. Merasakan hal ini beberapa hari sebanyak 322 orang (2,7 persen).

2. merasakan ini lebih dari separuh waktu sebanyak 52 (0,4 persen)

3. Merasakan ini hampir setiap hari ada 25 (0,2 persen).

Pemikiran lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apapun semakin sering dirasakan pada PPDS yang memiliki gejala depresi yang lebih berat.

Lebih lanjut, program studi yang melaporkan calon dokter spesialis dengan gejala depresi terbanyak teridentifikasi di lima program studi berikut:
1. Ilmu Penyakit Mulut (53,1 persen)
2. Ilmu Kesehatan Anak (41,3 persen)
3. Bedah Plastik (39,8 persen)
4. Anestesiologi (31,6 persen)
5. Bedah Mulut (28,8 persen)
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi survei tersebut dilakukan dengan menggunakan kuesioner mengisi pertanyaan.

Perundungan Pengaruhi Kesehatan Mental Calon Dokter Spesialis

Ilustrasi isu kesehatan mental
Ilustrasi isu kesehatan mental (freepik)

Kemenkes ingin mengetahui apakah faktor depresi yang dialami oleh PPDS lantaran kasus perundungan atau faktor lainnya.
Terlebih pihaknya masih melihat adanya laporan perundungan di RS vertikal.

"Karena kita masih melihat adanya laporan dari perundungan di RS vertikal," ujarnya.

Perundungan, kata Nadia dapat menyebabkan depresi atau terganggunya kesehatan mental.

"Dan terganggunya kesehatan mental dapat menyebabkan seseorang melakukan perundungan," tambahnya.

Selain itu kata Nadia, survei dilakukan untuk melihat bagaimana kesehatan mental para PPDS. Karena itu kajian singkat tersebut sekaligus memastikan kesehatan mental para PPDS di RS vertikal.

Namun pihaknya masih perlu memastikan penyebab pastinya dengan empat faktor.

"Melihat ada empat faktor, yaitu faktor pendidikan, faktor pelayanan , faktor ekonomi dan atau akibat perundungan , ini akan ditindaklanjuti tim teknis," tutupnya.

Ahli Menyarankan Langkah Tindak Lanjut Ini

Prof Tjandra Yoga Aditama
Prof Tjandra Yoga Aditama (HO/TRIBUNNEWS)

Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI dan juga Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama pun berikan lima upaya yang perlu ditindaklanjuti Kemenkes.

Pertama, dibuat diagnosis pasti dahulu tentang hasil skrining berdasar 9 pertanyaan pilihan ganda lewat kuesioner, tanpa wawancara.
"Diagnosis pasti tentu berdasarkan pemeriksaan psikiater dan psikolog, bukan hanya berdasar kuesioner 9 pertanyaan saja," kata Prof Tjandra.

Berikutnya, dilakukan skrining serupa pada peserta pendidikan perguruan tinggi profesi lain. Sehingga tahu bagaimana depresi pada berbagai peserta dan pendidikan di Indonesia.

Bahkan baik juga dilakukan skrining pada masyarakat umum supaya bisa diketahui berapa besar tingkat depresi di masyarakat berdasar kuesioner 9 pertanyaan ini. Ketiga, yang sudah dilakukan adalah skrining deskriptif.

"Dan untuk itu perlu analisa kualitatif untuk tahu secara jelas latar belakang, penyebab, faktor-faktor yang mempengaruhi dan lain-lain," kata Prof Tjandra lagi.

Dengan dasar hasil analisa kualitatif, maka dapat diketahui penyebab dan program yang dilakukan dengan benar. Keempat, berdasarkan diagnosis pasti, maka memang ada PPDS yang depresi. Apalagi yang sedang dan berat.

Maka perlu diobati dengan pendekatan psikologis dan bila mungkin medikamentosa.

Kelima, pemerintah perlu membantu ketersediaan sarana dan prasarana."Sehingga pendidikan dokter spesialis dapat berjalan dengan baik karena memang bangsa memerlukan dokter spesialis untuk pelayanan kesehatan kita," tutupnya.

Korban Bully yang Alami Depresi Bisa Sakit Keras Hingga Berujung Kematian?

Seberapa besar pengaruh bully pada kesehatan? Ternyata tak hanya kesehatan mental, fiskk pun bisa terpengaruh.

Melansir dari Verywell Family melalui situs halocod, anak-anak yang menjadi korban bullying seringkali menderita secara emosional maupun sosial. Dampaknya, mereka merasa punya harga diri rendah akibat hal-hal buruk yang menimpanya.

Ilustrasi bullying kontak fisik langsung
Ilustrasi bullying kontak fisik langsung (freepik)

Korban juga cenderung mengalami berbagai macam emosi, seperti marah, tidak berdaya, frustrasi, kesepian, dan terisolasi. Ujung-ujungnya, depresi pun tak bisa dihindari.

Namun, depresi tidak disebabkan oleh penyebab tunggal. Menurut penelitian, kimia otak, hormon, genetika, pengalaman hidup, dan kesehatan fisik semuanya berperan.

Jika tidak ada intervensi, anak dapat mengembangkan kondisi yang disebut learned helplessness.

Keadaan ini timbul ketika korban bullying percaya bahwa mereka tidak dapat melakukan apa pun untuk mengubah situasi.

Korban kemudian berhenti mencoba melawan dan siklus menuju depresi bertambah parah.

Pada akhirnya, anak merasa putus asa dan berkeyakinan mereka tidak punya jalan keluar.

Depresi yang berkelanjutan kemudian memicu masalah kesehatan. Misalnya, anak jadi lebih sering sakit-sakitan akibat terus-menerus merasa cemas.

Dikutip dari Healthline, korban bullying juga dapat mengidap penyakit serius, ketidakmampuan untuk fokus hingga memiliki hubungan sosial yang buruk.

Melansir dari Verywell Mind, pengidap depresi akan sulit memilih gaya hidup yang baik. Mereka mungkin tidak mampu tidur atau makan dengan baik, serta enggan berolahraga. Pada gilirannya, faktor tersebut membuat seseorang berisiko meninggal sebelum waktunya.

(Tribunnews.com/Anita K Wardhani/ Aisyah Nursyamsi/Willy Widianto)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas