WHO Peringatkan Kekurangan Anti Racun di Tengah Maraknya Gigitan Ular
WHO memperingatkan masalah kekurangan anti racun di tengah maraknya gigitan ular berbisa.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Whiesa Daniswara
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masalah gigitan ular, yang menewaskan puluhan ribu orang setiap tahun, diperburuk oleh banjir akibat iklim di sejumlah negara dengan akses terbatas ke penawar racun, WHO memperingatkan Selasa.
Setiap tahun, sebanyak 2,7 juta orang digigit ular berbisa, dengan perkiraan kematian hingga 138.000.
"Satu orang meninggal akibat gigitan ular setiap empat hingga enam menit," kata David Williams, pakar gigitan ular dari Organisasi Kesehatan Dunia, WHO dikutip dari ABS News, Kamis (19/9/2024).
Jauh lebih banyak orang, sekitar 240.000 setiap tahunnya mengalami cacat permanen.
Bisa ular dapat mengakibatkan kelumpuhan yang menyebabkan terhentinya pernapasan, gangguan pendarahan yang dapat mengakibatkan pendarahan yang fatal.
Selain itu bisa ular juga bisa menyebabkan gagal ginjal yang tidak dapat disembuhkan, hingga kerusakan jaringan yang dapat mengakibatkan cacat permanen dan kehilangan anggota tubuh.
Sebagian besar korban gigitan ular tinggal di wilayah tropis dan termiskin di dunia.
Dan anak-anak lebih parah terkena dampaknya karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil.
Williams menekankan bahwa kecacatan yang disebabkan oleh gigitan ular dapat mendorong bukan hanya korbannya.
Tapi seluruh keluarga mereka ke dalam kemiskinan karena sebagian disebabkan oleh tingginya biaya pengobatan, serta hilangnya pendapatan jika pencari nafkah keluarga menjadi korban.
Baca juga: 5 Fakta Bocah di Tegal Tewas usai Digigit Ular Welang: 6 Hari Koma, Ditangani 4 Dokter Spesialis
Ia memperingatkan bahwa masalah utamanya adalah bahwa beberapa wilayah di dunia tidak memiliki cukup perawatan yang aman dan efektif yang tersedia.
Afrika Sub-Sahara, misalnya, hanya memiliki akses ke sekitar 2,5 persen dari perawatan yang diperkirakan dibutuhkan.
Badan kesehatan PBB menjelaskan pada tahun 2019 bahwa produksi anti racun yang menyelamatkan nyawa telah ditinggalkan oleh sejumlah perusahaan sejak tahun 1980-an, yang memicu kekurangan parah di Afrika dan beberapa negara Asia.
India adalah negara yang paling parah terkena dampak di dunia, dengan sekitar 58.000 orang meninggal di sana akibat gigitan ular setiap tahun.
Sementara negara tetangganya Bangladesh dan Pakistan juga terkena dampak keras, kata Williams.
Sementara itu, dampak perubahan iklim memperburuk situasi di beberapa tempat.
Terutama menunjuk pada bagaimana banjir sering kali dapat meningkatkan jumlah gigitan ular.
Ia menunjuk Nigeria, yang saat ini "mengalami kekurangan antibisa ular yang parah akibat banyaknya kasus gigitan ular tambahan yang disebabkan oleh banjir".
"Dan ini adalah masalah yang terjadi di banyak wilayah di dunia di mana bencana semacam ini terjadi secara berkala," imbuhnya.
Peristiwa banjir besar di Pakistan, Myanmar, Bangladesh, Sudan Selatan dan negara-negara lain juga diikuti oleh peningkatan gigitan ular.
WHO juga memperingatkan bahwa perubahan iklim berisiko mengubah distribusi dan kelimpahan ular berbisa, yang mungkin membuat negara-negara yang sebelumnya tidak terpengaruh terkena bahaya.