Stres Kerja Picu Kebiasaan Merokok, Ini Saran Psikolog
Beban kerja yang tinggi berkorelasi terhadap masalah kesehatan mental. Kondisi ini juga memicu kebiasaan berisiko seperti merokok.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Anita K Wardhani
Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayup
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA -- Beban kerja yang tinggi berkorelasi terhadap masalah kesehatan mental.
Kondisi ini juga memicu kebiasaan berisiko, salah satunya merokok dengan alasan untuk mengurangi stres.
Baca juga: WHO Rilis Pengobatan Klinis Hentikan Kebiasaan Merokok pada Orang Dewasa
Psikolog, Sukmayanti Rafisukmawan, M.Psi, membenarkan hal itu.
Seseorang yang dalam posisi stres akan berusaha melakukan coping mechanism, yakni kebiasaan berisiko untuk kesehatan fisik ataupun mental.
Contohnya, makan ketika sedang stres, mengonsumsi kafein hingga menjadi kekurangan tidur, konsumsi alkohol berlebihan, dan kebiasaan merokok.
“Bicara soal kesehatan mental itu sesuatu yang tidak sederhana. Itu cukup kompleks. Jadi dibutuhkan adanya edukasi, advokasi, serta koordinasi dengan berbagai sektor. baik publik ataupun swasta, masyarakat, dan tenaga kesehatan,” kata Sukmayanti dalam diskusi yang digelar Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO) dengan tema “Membangun Kesadaran Risiko Kesehatan Mental” pekan lalu yang dikutip, Senin (28/10/2024).
Untuk mengurangi kebiasaan buruk akibat stres di tempat kerja, Sukmayanti menilai perlu adanya penguatan literasi terhadap masyarakat mengenai konsep pengurangan risiko.
Penerapan dari konsep tersebut seperti menerapkan pola hidup yang sehat. Contohnya mengonsumsi sayur dan buah, mengurangi konsumsi kopi dengan gula yang berlebihan secara perlahan, maupun beralih ke produk-produk tembakau alternatif bagi pekerja yang kesulitan untuk mengurangi kebiasaan merokok.
“Berhenti merokok total, sangat sulit. Kurangi perlahan dengan menggunakan rokok elektronik sambil terus melakukan konseling dengan psikolog,” jelas Sukmayanti.
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Kesehatan Publik dan Ahli Kesehatan Keselamatan Kerja, dr. Felosofa Fitrya, MMR, menambahkan sebagian besar waktu produktif orang dewasa dihabiskan di tempat kerja.
Mengutip laporan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), kata Felosofa, sekitar 15 persen dari pekerja secara global mengalami gangguan mental.
Situasi tersebut menyebabkan penurunan produktivitas, peningkatan absensi, dan eskalasi biaya kesehatan.
Felosofa menekankan pentingnya pendekatan pengurangan risiko kesehatan mental di tempat kerja.
Perusahaan perlu menyediakan layanan konseling gratis seperti program Employee Assistance Program (EAP) untuk membantu karyawan menghadapi tekanan di lingkungan kerja.
Dari sisi karyawan, mereka dapat mulai mengidentifikasi kebiasaan-kebiasaan berisiko akibat tekanan pekerjaan seperti konsumsi makanan dengan nutrisi yang tidak seimbang, minim aktivitas fisik, hingga kebiasaan merokok.
Para pekerja bakal lebih memperhatikan kesehatannya, baik fisik maupun mental, dan secara sadar membuat pilihan berdasarkan pertimbangan aspek pengurangan risiko.
“Ketika konseling dengan karyawan yang mengalami stres tinggi, kami selalu mengajarkan untuk self-healing dengan menyadari napas dan hasilnya cukup positif. Adapun pada karyawan yang stres dan larinya merokok, kami selalu menyarankan untuk beralih ke produk yang menerapkan pengurangan risiko seperti rokok elektronik,” ungkap dia.