Berjalan di Tengah Hujan Dapat Membuat Kita Lebih Bahagia, Kata Pakar Kesehatan
Dr Sham Singh mengungkapkan manfaat mengejutkan dari berjalan di tengah hujan yang mungkin belum Anda ketahui
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM - Berbagai negara telah memasuki musim penghujan, termasuk di Indonesia pada bulan November tahun ini.
Di sisi lain, berjalan di tengah hujan ternyata berguna bagi kesehatan mental dan jiwa manusia.
Hujan akan membuat si penikmatnya menjadi bahagia.
Hal tersebut terungkap dalam pembicaraan penyedia liburan di Inggris, Parkdean Resorts dengan pakar kesehatan jiwa dari Los Angeles, Dr. Sham Singh, seperti dikutip dari Daily Record.
Melalui pembicaraan ekslusif itu, Dr. Sham Singh mengungkapkan manfaat mengejutkan dari berjalan di tengah hujan yang mungkin belum Anda ketahui.
"Mencapai target harian 10.000 langkah tidak harus dibatasi oleh cuaca. Mulai dari mengajak anjing jalan-jalan atau sekadar ingin menyatu dengan alam, ada banyak manfaat berada di luar ruangan saat hujan," katanya.
Dr. Singh menjelaskan bahwa suara rintik hujan yang menenangkan bertindak sebagai white noise yang menghasilkan efek menenangkan.
"Ini berfungsi sebagai white noise yang menghasilkan efek menenangkan karena menurunkan kadar kortisol, sehingga mengurangi stres," katanya.
Selain itu, paparan alam, bahkan pada hari hujan, telah terbukti meningkatkan suasana hati dengan meningkatkan kadar serotonin dan dopamin.
Demikian menurut Dr. Singh sebagai dua neurotransmiter penting yang membantu mengatur kebahagiaan dan stabilitas emosional.
Mereka juga mencatat bahwa berjalan di tengah hujan juga meningkatkan masukan sensorik.
Baca juga: Perlunya Menata Kesehatan Mental Anak Muda Demi Generasi Emas 2045
Masukan sensorik dapat berkontribusi dalam mendukung perhatian penuh.
"Sensasi hujan di kulit, aroma air segar di tanah, dan angin sepoi-sepoi yang sejuk menciptakan pengalaman membumi yang mendorong individu untuk fokus pada saat ini," ucap psikiater itu.
Sementara praktik ini juga menumbuhkan ketahanan dengan mendorong orang keluar dari zona nyaman mereka, meningkatkan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi mental, sifat penting untuk menjaga kesehatan mental jangka panjang.
Beban Kerja Karyawan
Isu kesehatan mental juga membayangi para pekerja atau karyawan.
Dampaknya tidak main-main karena berimbas pada produktivitas, hubungan sosial, dan kualitas hidup seseorang.
Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, dr. Puspita Tri Utami, M.Si, M.KKK, menuturkan, kondisi ini sebagai fenomena gunung es.
“Semakin disadari sejak awal maka dapat mengurangi risiko kesehatan mental,” ujar dia dalam diskusi bertajuk Membangun Kesadaran Risiko Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja pada Kamis (24/10/2024).
Merujuk data Organisasi Kesehatan Dunia pada tahun 2019, diperkirakan 15 persen orang dewasa usia kerja mengalami gangguan mental.
Secara global, diperkirakan 12 miliar hari kerja hilang setiap tahun di seluruh dunia akibat depresi dan kecemasan, dengan biaya mencapai USD 1 triliun per tahun dalam kehilangan produktivitas.
Pakar Kesehatan Publik dan Ahli Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), dr. Felosofa Fitriya, MMR, menambahkan bahwa ada faktor risiko yang memicu gangguan mental di tempat kerja, seperti tekanan pekerjaan berlebih, kurang jelasnya peran, dan minimnya dukungan manajemen.
“Mengelola faktor-faktor ini adalah tantangan besar, namun sangat penting untuk kesehatan mental pekerja,” ujarnya.
Para pekerja perlu didorong untuk lebih memperhatikan kesehatan, baik fisik maupun mental.
Perusahaan juga harus proaktif dalam mendukung kesejahteraan mental karyawan dengan menyediakan akses ke layanan kesehatan mental serta bentuk-bentuk edukasi sadar risiko dan pengurangan risiko (harm reduction) yang relevan.
Baca juga: Dukung Kesehatan Mental, UPH Dorong Generasi Z Bangun Ketangguhan Diri Hadapi Tantangan
Dalam kesempatan yang sama, Psikolog Sukmayanti Rafisukmawan, M.Psi, Psikolog, menuturkan, kebiasaan-kebiasaan berisiko yang muncul akibat stres dan tekanan dalam lingkungan pekerjaan salah satunya dapat ditangani dengan pendekatan Cognitive Behaviour Modification (CBM).
Sebagai contoh, kebiasaan merokok sangat sulit untuk dihentikan secara langsung, bahkan ketika berada di tempat kerja.
“Kalau tiba-tiba diberhentikan secara langsung, orang yang dipaksa meninggalkan kebiasaan merokok cenderung merasa cemas (anxious), gelisah, kurang mampu berkonsentrasi dan tidak nyaman. Ujungnya kemungkinan besar terjadi relaps yaitu orang tersebut kembali ke titik awal atau pada beberapa kasus menjadi lebih parah. Sehingga pendekatan pengurangan risiko bisa menjadi alternatif,” kata Sukmayanti.
Dari sisi Dokter Spesialis Gizi Klinik, dr. Andri Kelvianto, M. Gizi, Sp. GK, AIFO-K, meminta pemerintah untuk menyediakan kerangka regulasi yang mendukung program-program edukasi gizi, termasuk pengembangan kampanye publik yang fokus pada pentingnya pola makan seimbang, pengurangan kebiasaan buruk, dan mengarahkan ke penggunaan alternatif yang lebih rendah risiko.
Sementara itu, sektor swasta dapat didorong untuk memproduksi alternatif produk yang lebih rendah risiko bagi masyarakat luas.
“Di Amerika ada food and mood project. Pemerintah menyediakan makanan yang bergizi seimbang di sekolah. Bukan hanya diberikan makan, tapi betul-betul variasi gizinya diperhatikan untuk mencukupi food security. Hasilnya mood menjadi lebih bagus, sehingga menjadikan mereka lebih produktif. Ini akan mengurangi resiko orang untuk terkena gangguan kesehatan mental,” jelas dr. Andri.
Ketua Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (Masindo) Dimas Syailendra menjelaskan, kegiatan ini dapat membuka ruang dialog dan kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan terkait untuk bersama-sama mengedukasi tentang perilaku sadar risiko kepada masyarakat luas.
“Kami ingin mengajak masyarakat untuk mulai memperhatikan resiko saat bekerja, khususnya kesehatan mental di lingkungan bekerja. Tantangan kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, dan stres, memiliki potensi besar untuk menghambat pencapaian produktivitas masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pendekatan pengurangan risiko yang komprehensif, termasuk intervensi kebijakan, edukasi, dan dukungan psikologis, sangat diperlukan,” terang Dimas.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Rina Ayu)