Perempuan Punya Hak Ambil Keputusan untuk Lakukan Deteksi Dini Kanker Serviks
Selama ini banyak hal yang selalu dihadapi oleh perempuan untuk melakukan deteksi dini kanker serviks
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Perempuan memiliki hak untuk mengambil keputusan secara mandiri dalam pemeriksaan hingga pengobatan kanker serviks tanpa harus bergantung pada izin yang diberikan suami.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi.
“Ketika bicara gender, salah satu hak yang harus diperjuangkan oleh perempuan adalah hak kesehatan dirinya. Hak untuk mengetahui kesehatannya, tanpa harus bergantung pada suaminya, itu yang sebenarnya kesetaraan gender yang harus kita perjuangkan,” kata Nadia dalam diskusi bersama media di Jakarta, Kamis (28/11/2024).
Selama ini banyak hal yang selalu dihadapi oleh perempuan untuk melakukan deteksi dini kanker serviks.
Di antaranya karena ada perasaan malu, takut hingga terkendala perizinan dari suami.
Baca juga: Kemenkes Ungkap Kanker Serviks Bisa Sembuh Jika Ditemukan di Stadium Awal
Umumnya, perempuan di Indonesia selalu harus meminta izin terlebih dahulu kepada pasangannya untuk dapat melakukan skrining kanker serviks atau kanker leher rahim.
Sebab, dalam skrining kanker serviks ini, diperlukan pengambilan spesimen di sekitar rahim perempuan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Padahal, mendapatkan akses kesehatan dan pengobatan adalah hak setiap orang, begitu pun dengan perempuan.
"Juga hak mendapatkan akses pengobatan. Karena setelah tahu penyakitnya, kadang-kadang mesti nunggu suaminya dulu, ‘Boleh tidak, sih, saya berobat, atau boleh tidak saya begini begitu’. Sebenarnya itu adalah hak perempuan untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan,” lanjut Nadia.
Di sisi lain, Nadia juga menyingung soal ketakutan lain dari perempuan, yaitu jatuhnya vonis dari dokter.
Ketakutan ini muncul karena masih adanya stigma yang melekat di tengah masyarakat Indonesia.
"Ada ketakutan juga kalau kita misalnya positif nanti ngomong sama suaminya seperti apa. Kadang-kadang para lelaki (ada) ini bilang oh itu kamu kan dapat penyakit itu berarti kamu yang gak benar dong," imbuhnya.
Kondisi ini, menurut Nadia menjadi tantangan dalam menekan angka kanker serviks pada perempuan sehingga kata Nadia, butuh keterlibatan antara pemerintah, sektor swasta, dan seluruh pemangku kepentingan.
Agar setiap perempuan tidak lagi ragu atau takut melakukan deteksi dini kanker serviks.