Komunitas Pasien Cuci Darah Soroti Efisiensi Anggaran, Bisa Berdampak Pada Transplantasi Ginjal
Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Richard Samosir, menyoroti dampak kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.
Penulis: M Alivio Mubarak Junior
Editor: Anita K Wardhani

Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Alivio Mubarak Junior
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), Tony Richard Samosir, menyoroti dampak kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terhadap sektor kesehatan.
Salah satu yang menjadi perhatian utama adalah pengaruh pemotongan anggaran terhadap pasien gagal ginjal, terutama mereka yang menjalani transplantasi.
Baca juga: Wakil Menteri Kesehatan Targetkan Lebih Banyak Rumah Sakit Bisa Lakukan Transplantasi Ginjal
Menurut Tony, pemangkasan anggaran sebesar Rp19,6 triliun berisiko menghambat akses pasien terhadap layanan kesehatan yang optimal.
Ia menilai sektor kesehatan seharusnya tetap menjadi prioritas karena berkaitan dengan produktivitas nasional.
“Kesehatan bukan hanya urusan individu, tetapi juga berpengaruh pada keberlanjutan ekonomi dan sosial negara. Jika pasien gagal ginjal tidak mendapatkan perawatan yang memadai, dampaknya bisa sangat luas," kata Tony di kawasan Kuningan, Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Salah satu dampak nyata dari kebijakan ini adalah meningkatnya kekhawatiran terkait ketersediaan obat imunosupresan bagi pasien transplantasi ginjal.
Baca juga: 159.000 Pasien Gagal Ginjal Kronis di Indonesia Jalani Cuci Darah, Mayoritas Usia Produktif
Obat ini berperan penting dalam mencegah penolakan organ setelah transplantasi.
Namun, seringnya perubahan merek obat Takrolimus di rumah sakit dinilai dapat memicu fluktuasi kadar obat dalam darah pasien, yang berisiko menyebabkan rejeksi akut terhadap ginjal yang telah ditransplantasikan.
Tony menjelaskan dalam beberapa bulan terakhir, pasien sering kali mengalami pergantian merek Takrolimus di rumah sakit, yang berakibat pada ketidakstabilan kadar obat dalam tubuh.

Penelitian menunjukkan bahwa perubahan merek ini dapat meningkatkan risiko penolakan ginjal baru.
"Jika kadar obat tidak stabil, fungsi ginjal yang sudah ditransplantasikan bisa terganggu, bahkan berujung pada kegagalan transplantasi," ungkapnya.
Selain itu, pemotongan anggaran juga berdampak pada keterbatasan stok obat imunosupresan di rumah sakit.
Beberapa pasien dilaporkan kesulitan mendapatkan obat secara tepat waktu, yang bisa berakibat fatal.
Jika pasien mengalami jeda dalam pengobatan, sistem imun mereka bisa menyerang ginjal baru, sehingga mengharuskan mereka kembali menjalani cuci darah, yang justru lebih membebani biaya kesehatan secara keseluruhan.
Tidak hanya soal obat, pemeriksaan kadar Takrolimus dalam darah juga menjadi lebih sulit diakses akibat keterbatasan fasilitas laboratorium.
Padahal, pemeriksaan ini sangat penting untuk memastikan efektivitas terapi pasca-transplantasi.
Bertepatan dengan peringatan Hari Ginjal Sedunia 2025 yang jatuh pada Kamis kedua bulan Maret, KPCDI mendesak pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan efisiensi anggaran di sektor kesehatan.
Tony menegaskan pengurangan anggaran tidak boleh mengorbankan hak pasien dalam mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.