Rifat Sungkar: Human Error Penyebab Kecelakaan Lalu lintas Jalan Tertinggi
Menurut Rifat Sungkar perilaku pengemudi yang berkeselamatan merupakan faktor keselamatan yang paling penting.
Editor: Content Writer
Pengemudi kendaraan bermotor merupakan faktor keselamatan yang paling utama. Hal ini mengingat 85 persen dari total angka kecelakaan kendaraan bermotor di Indonesia, terjadi akibat kesalahan manusia atau human error.
Dalam sebuah wawancara khusus dengan Duta Keselamatan Lalu Lintas Jalan Kementerian Perhubungan dan juga pereli nasional, Rifat Sungkar, menyatakan, perilaku pengemudi yang berkeselamatan merupakan faktor keselamatan yang paling penting karena pengemudi adalah pelaku atau pelaksana yang paling menentukan keselamatan berkendara di jalan.
Menurutnya, keselamatan berkendara haruslah dimulai dari diri kita sendiri terlebih dahulu.
“Dari 5 pilar peningkatan keselamatan lalu lintas angkutan jalan, yang paling penting itu adalah safer people atau perilaku pengguna jalan yang berkeselamatan. Mau se-safety apapun kendaraan itu, namun jika pengemudinya tidak mau mengikuti aturan, maka kecelakaan beresiko terjadi. Kalau soal kendaraan kan bagaimanapun juga sudah ada ‘safety tools'-nya, seiring dengan perkembangan jaman, para manufaktur kendaraan juga berlomba lomba memberikan fitur keselamatan yang lebih baik lagi di kendaraan mereka masing-masing untuk meminimalisir resiko kecelakaan di jalan," ungkapnya.
Adapun 5 pilar peningkatan keselamatan lalu lintas angkutan jalan itu adalah peningkatan manajemen keselamatan lalu lintas jalan (safer management), peningkatan jalan yang berkeselamatan (safer road), peningkatan kendaraan yang berkeselamatan (safer vehicle), pengingkatan perilaku pengguna jalan berkeselamatana (safer people) dan peningkatan perawatan pasca kecelakaan lalu lintas (post crash).
Menurut Rifat Sungkar, kita semua harus mulai bertindak sekarang juga untuk memperbaiki mentalias bangsa ini demi generasi masa depan yang lebih baik, bukan hanya persoalan kinerja dan prestasi bangsa saja yang menjadi lebih baik tetapi juga suasana berlalu lintas menjadi lebih nyaman dan selamat.
"Dengan cara lebih peduli kepada orang lain sesama pengguna jalan, serta mengetahui akibat dari perbuatan kita bila kita lalai dalam mengikuti aturan di jalan. Jadi, toleransi umat berlalu lintas itu penting, menurut saya," tambahnya.
"Pertanyaannya adalah, kita akan menunggu pemerintah membangun jalan untuk mendapatkan fasilitas yang lebih baik atau kita segera bertindak memperbaiki toleransi umat berlalu lintas dan juga skill kita mengemudi untuk menciptakan suasana berkendara yang lebih baik," ucapnya.
Rifat mengakui, dirinya memahami sekali bahwa kadang pengemudi kendaraan bermotor berada dalam tekanan yang tinggi akibat mengejar waktu untuk tiba di suatu tempat, sehingga berusaha memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi.
Namun, menurutnya hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk menjadi lalai ketika berkendara.
“Seseorang yang sedang berkendara itu haruslah menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam suatu zona 'peperangan' dengan tingkat stres yang cukup tinggi. Namun, pengemudi dituntut untuk bisa me-manage waktunya dengan baik dan harus bertanggungjawab dengan apa yang dia perbuat. Dengan adanya kesadaran ini maka tekanan di jalan akan berkurang. Dengan tekanan psikologis berkurang, maka berkurang juga resiko terjadinya kecelakaan di jalan," tambahnya.
Saking pentingnya peran pengemudi dalam keselamatan berkendara, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan menggelar acara rutin tahunan pemberian penghargaan pengemudi teladan atau Penghargaan Abdi Yasa teladan.
Penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi terhadap awak kendaraan angkutan umum yang ikut berperan dalam meningkatkan keselamatan dan pelayanan jasa yang optimal.
Para penerima penghargaan ini diharapkan dapat menjadi panutan dan teladan dalam berkendara. Pada tahun ini, penghargaan ini diikuti oleh 56 pengemudi angkutan umum dari 25 propinsi.
Berprofesi sebagai pereli nasional dan juga pengajar di Rifat Driving School, Rifat membagikan keprihatinannya terhadap kecelakaan yang sering terjadi di umur 17-35 tahun atau di usia yang produktif.
Menurutnya, hal ini bisa diminimalisir dengan melakukan perubahan mental bangsa dimulai dari generasi muda, karena di usia yang muda, biasanya memiliki mental state tidak mau kalah, cepat emosi, ingin menjadi yang terbaik diantara teman-temannya.
"Kadang anak muda ini salah persepsi, menjadi terbaik itu artinya apa, terbaik menang selamat sampai tujuan di jalan memang tidak mendapat piala, tetapi terbaik menjadi panutan dalam keselamatan berkendara, barulah itu benar-benar adalah juara dalah hal keselamatan berkendara," ungkapnya.
Dirinya juga prihatin dengan kondisi kurang sadarnya masyarakat akan resiko berkendara, sehingga banyak orangtua dengan mudahnya memberikan kendaraan roda dua untuk anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).
Ini dikarenakan orangtua tidak mau susah untuk mengantar anaknya ke sekolah, sehingga lebih memilih memberikan motor kepada anaknya.
Seharusnya, orangtua baru memberikan kendaraan bermotor kepada anaknya di usia 17 tahun berbarengan dengan pembuatan SIM (Surat Ijin Mengemudi).
“Kenapa SIM baru bisa didapatkan di usia 17 tahun? Hal ini bukan karena soal tinggi badan mereka, tetapi soal pola pikir mereka sudah menuju dewasa di umur segitu. Dewasa dalam arti bisa bersikap dan menentukan yang terbaik untuk apa yang akan mereka lakukan. Memberikan mereka kendaraan di usia muda, sama saja memberikan tools kepada mereka untuk bunuh diri, tolong orangtua ingat hal itu," ujarnya.
Rifat juga berbicara tentang fenomena 'balap liar' yang masih terjadi di beberapa tempat di ibukota.
Menurutnya, sebaiknya pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan solusi dengan cara membangun fasilitas untuk anak muda yang mencintai dunia balap ini agar mereka memiliki tempat untuk menyalurkan minat mereka.
Bukan karena mereka bisa dilatih menjadi pembalap yang baik untuk mengharumkan nama daerahnya, tetapi mereka juga bisa jadi panutan bagi anak muda lainnya.
“Yang saya bicarakan di sini fasilitas balap bukan masalah moto GP bukan masalah track untuk balap mobil F1 dan lain-lain, bukan itu. Fasilitas balap sekarang kita realistis aja, yang paling rame di jalan itu adalah drag bike, tarik tarikan di jalan. Untuk yang suka balap, kita juga hanya perlu satu buah sirkuit lebar 10 meter panjang 1,5 Km untuk bisa menyalurkan inspirasi mereka," terangnya.
Pria berumur 39 tahun ini mengapresiasi upaya Kementerian Perhubungan khususnya Direktorat Pembinaan Keselamatan, Direktorat Perhubungan Darat yang menerapkan sanksi tegas untuk kendaraan angkutan barang yang melanggar ketentuan ODOL (Over Dimension and Over Loading).
Menurutnya, hal ini bisa meminimalisir angka kecelakaan lalu lintas.
Sebagai seorang pembalap nasional, Rifat tahu benar betapa pentingnya keselamatan. Banyak orang yang berpikir bahwa menjadi pembalap itu pasti berbahaya dan penuh resiko.
Justru karena sudah menyadari resikonya, maka untuk antisipasi resiko itu, seorang pembalap akan menggunakan safety device yang mumpuni, seperti baju balap, sepatu balap, sarung tangan, helm, hand and neck support, dan lain-lain.
"Nah justru karena kita tahu kalau kita ini seorang pembalap, maka kita selalu prepare. Nah bila kita di jalan raya, resiko yang kita hadapi justru lebih besar dan kita tidak se prepare ketika membalap. Karena balapan, sekencang apapun, arahnya semuanya pasti sama. Sementara di jalan raya, arahnya kan beragam, jadi kita harus bisa antisipasi resiko ketika berada di jalan raya," pungkasnya. (*)
Penulis: Viliny Lesmana Stratx KG