Cegah Karhutla, KLHK Optimalkan TMC Hingga Awal Tahun
Hal ini mengingat meskipun ada musim hujan, namun ada kemungkinan cuaca panas berlangsung hingga Januari-Februari 2021.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.
Hal ini mengingat meskipun ada musim hujan, namun ada kemungkinan cuaca panas berlangsung hingga Januari-Februari 2021.
"Kalau begitu, kita tidak bisa menyebut TMC hingga bulan Oktober 2020. TMC perlu kita teruskan sambil melihat kondisi sampai tidak perlu dilakukan," katanya saat memimpin rapat evaluasi pelaksanaan operasi TMC, yang berlangsung virtual, Selasa (25/8/2020).
Diungkapkannya, keberadaaan teknologi yang memungkinkan kemampuan membaca tanda-tanda alam harus betul-betul dioptimalkan.
KLHK bersama Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan TNI Angkatan Udara juga pakar iklim dari IPB University akan mengikuti dan mengembangkan teori dan teknologi yang mendukung pencegahan karhutla ini.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Pengandalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Ruandha Agung Sugardiman, menyampaikan operasi TMC yang dilakukan dalam beberapa bulan terakhir berhasil menurunkan jumlah titik panas/hotspot.
"Pemantauan selama hampir satu bulan penuh ini, di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan tidak muncul titik panas. Sementara di Kalimantan Barat, sempat muncul beberapa titik panas pada 13 Agustus 2020, yang segera diatasi dengan operasi TMC untuk mencegah potensi asap lintas batas," jelasnya.
Mendukung hal tersebut, Deputi Bidang Teknologi Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Yudi Anantasena mengatakan agar efektivitasnya optimal, TMC perlu dilakukan dari sebelum memasuki musim kemarau.
"Tingkat efektivitas TMC pada periode Juli-Agustus tidak sebesar pada bulan Mei dan sebelumnya, mungkin karena kondisinya sekarang sudah mulai kering. Menyemai awan sebelum musim kemarau datang itu lebih banyak menghasilkan curah hujan," ungkapnya.
Upaya pencegahan karhutla melalui operasi TMC juga dinilai lebih efisien dari sisi pengeluaran anggaran. Hal tersebut disampaikan Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Dody Ruswandi.
"Kami sangat mendukung operasi TMC ini yang memang diharapkan bisa mengurangi intensitas operasi pemadaman udara, sehingga spending anggaran karhutla bisa lebih efektif," katanya.
Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal, menyampaikan sampai Agustus 2020, sebanyak 85% daerah zona musim, telah memasuki musim kemarau dan telah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) berturut-turut bervariasi antara 21-30 hari, 31-60 hari, dan di atas 60 hari.
"Sebagian daerah yang telah masuk musim kemarau tahun 2020 telah mengalami HTH di atas 21 hari, sehingga perlu mewaspadai potensi kekeringan meteorologis," ujarnya.
Berdasarkan panjang HTH dan potensi hujan rendah (kurang dari 20 mm/dasarian) sampai akhir pertengan September 2020, sejumlah wilayah memerlukan perhatian peringatan dini kekeringan pada level Waspada, Siaga, dan Awas.
Beberapa wilayah tersebut yaitu di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
"Berdasarkan prediksi curah hujan dasarian dan harian, serta potensi karhutla berdasarkan tingkat kemudahan terbakar lapisan di atas permukaan (FFMC), untuk tiga harian ke depan (25-27 Agustus 2020), dengan peluang yang tinggi di sebagian Jambi, Sumatera Selatan, sebagian Lampung, sebagian besar Jawa, Bali, Nusa Tenggara, bagian Selatan Sulawesi Selatan, dan Papua bagian Selatan," papar Herizal.
Terkait hal tersebut, Pakar Iklim, Kelautan, dan Variabilitas Iklim IPB University Rahmat Hidayat menyampaikan sejumlah aspek lain yang juga perlu menjadi perhatian dalam pencegahan karhutla.
Misalnya data historis dari tahun 2017 sampai 2019, variasi hotspot tertinggi terjadi pada bulan Agustus hingga September. Kondisi iklim yang terjadi di sekitar wilayah Indonesia, seperti suhu di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia juga berpengaruh.
"Dengan mengetahui kondisi-kondisi tersebut, kita bisa melakukan prediksi ke depan. Data seperti ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan langkah yang tepat dalam pencegahan karhutla," ucapnya.(*)