Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Di Tengah Gejala Inklusivisme, Ahmad Basarah Ajak Generasi Muda Jadi ‘Pahlawan Kebhinekaan’

Menyambut Hari Pahlawan 2022, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengajak generasi muda menjadi bagian dari pahlawan kebhinekaan di era 5.0 saat ini.

Editor: Content Writer
zoom-in Di Tengah Gejala Inklusivisme, Ahmad Basarah Ajak Generasi Muda Jadi ‘Pahlawan Kebhinekaan’
Doc. MPR
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menyambut Hari Pahlawan 2022, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengajak generasi muda menjadi bagian dari pahlawan kebhinekaan di era 5.0 saat ini.

Dia menilai kepahlawanan seseorang tidak hanya terbatas pada saat peperangan merebut kemerdekaan, tapi juga mempertahankan dan mengisi kemerdekaan itu.

Mengisi alam kemerdekaan dengan Bhinneka Tunggal Ika serta menjunjung tinggi toleransi di antara anak bangsa adalah bagian dari sikap kepahlawanan.

"Tentu sangat berat merebut kemerdekaan dari penjajah, kita semua berutang jasa pada pahlawan bangsa. Tapi, mempertahankan dan merawat kemerdekaan juga bukan perkara mudah, khususnya di tengah banyaknya kepentingan anak bangsa saat ini yang banyak mengedepankan ego masing masing untuk mencapai kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri," jelas Ahmad Basarah di Jakarta, Kamis (10/11/2022).

Menurut Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini, esensi terpenting dalam peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November adalah menggali untuk kemudian mentransformasikan spirit nasionalisme dan patriotisme yang diwariskan para pahlawan bangsa kepada generasi selanjutnya.

"Dengan demikian kita benar-benar dapat menangkap api kepahlawanan para pendahulu bangsa," tegas Ahmad Basarah.

Ketua DPP PDI Perjuangan ini menegaskan, dari banyak nilai dan spirit kepahlawanan yang harus ditiru generasi saat ini adalah bagaimana para pahlawan bangsa menjunjung tinggi toleransi setiap kali mengambil keputusan bersama saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Berita Rekomendasi

Toleransi yang besar telah mereka perlihatkan dalam Kongres Pemuda Kedua pada 27 - 28 Oktober 1928, yang di dalamnya tirani mayoritas ditiadakan dan eksistensi minoritas dihargai lewat kesepakatan ikrar Sumpah Pemuda bahwa mereka bersatu dalam konsep tanah air, bangsa, dan bahasa.

Contoh lain, Doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro Semarang itu menunjuk momen historis perumusan Pancasila, terutama menyangkut sila pertama Pancasila dalam naskah Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang awalnya berbunyi ’Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya'.

"Seandainya para alim ulama pendiri bangsa Indonesia ngotot mempertahankan tujuh kata tersebut, mungkin Indonesia tidak sebesar sekarang ini. Indonesia akan terpecah-pecah berdasarkan suku, agama, dan ras. Mengapa saat ini kita tetap bersatu? Semua itu terjadi karena para pendiri bangsa kita berjiwa besar untuk menurunkan ego golongan masing masing, mereka menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi," tegas Ahmad Basarah.

Sekretaris Dewan Penasihat PP Baitul Muslimin Indonesia itu menambahkan, saat ini pahlawan-pahlawan kebhinekaan sangat dibutuhkan jika merujuk pada beberapa survei terkait posisi Indonesia dalam hal toleransi.

Dalam rilis terbarunya, Juni 2022, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menyimpulkan 30,16 persen mahasiswa Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah atau sangat rendah.

Survei PPIM dilakukan di 92 perguruan tinggi di 34 provinsi mengenai toleransi di kalangan responden mahasiswa dan dosen dari kelompok Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu dan aliran kepercayaan.

Sedangkan Survei International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), bersama Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menemukan kecenderungan eksklusif beragama pada sebagian generasi muda.

Misalnya, 40% responden menyatakan setuju peraturan berpakaian di sekolah disesuaikan dengan mayoritas agama yang dianut para siswa. Dalam kategori kepemimpinan, mereka berpendapat agama pemimpin harus disesuaikan dengan agama mayoritas pemilih, hanya 19% responden yang menganggap pemeluk agama minoritas layak menjadi presiden.

Sementara itu, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag) dalam survei nasional Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) pada 2021 menyimpulkan 36% responden menyatakan keberatan jika penganut agama lain membangun tempat ibadah meski sudah mengantongi izin, 25% responden enggan hidup bertetangga dengan pemeluk agama lain, dan 34% enggan jika masyarakat berbeda agama merayakan hari besar keagamaan mereka sendiri.

“Gejala-gejala inklusivisme seperti ini tentu merisaukan kita dan bisa menggerus kebhinekaan. Karena itu dibutuhkan kehadiran pahlawan-pahlawan kebhinekaan yang terus mengusung toleransi. Gerakan itu bisa dimulai dari diri sendiri, dilanjutkan keluarga, kemudian bergerak di kelompok sebaya sampai gerakan besar demi tujuan mempertahankan ideologi Pancasila dan NKRI,” pungkas Ahmad Basarah.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas