Diskusi Sistem Pemilu, Dave Akbarshah Fikarno: Jangan Lucuti Sistem Terbuka
Dave Akbarshah Fikarno mengungkapkan sistem terbuka mampu memberikan otoritas, kesempatan, kepada rakyat untuk menentukan wakil mereka di DPR/DPRD
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Dalam pemilu tidak ada sistem yang sempurna, pasti ada plus minus, kurang lebih, ada yang dikecewakan, ada pula yang dipuaskan. Dari semua sistem yang ada, sistem pemilu yang menganut proporsional terbuka merupakan sistem terbaik. Dengan sistem terbuka mampu memberikan otoritas, kesempatan, kepada rakyat untuk menentukan siapa yang rakyat inginkan untuk menjadi wakilnya baik di DPRD maupun DPR.
Ungkapan demikian disampaikan oleh anggota MPR/DPR dari Partai Golkar, Dave Akbarshah Fikarno saat menjadi pembicara dalam Diskusi Empat Pilar MPR yang bertema Sistem Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Pancasila yang digelar di Media Center, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, 22 Februari 2023.
Lebih lanjut Dave menegaskan dirinya kerap mengatakan bahwa sistem yang sudah berjalan, sistem terbuka, jangan dilucuti lagi. Menurutnya bangsa ini pernah mengalami pemilu dengan sistem tertutup. Itu terjadi pada Pemilu tahun 1955, 1971, 1975, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999. Pada Pemilu 2004 sudah menggunakan sistem campuran, terbuka dan tertutup. “Dan pada tahun 2009 sudah menggunakan sistem terbuka”, tuturnya.
Pemilu menggunakan sistem terbuka, dari tahun 2009, 2014, dan 2019, menurut Dave merupakan kemajuan demokrasi di mana benar-benar memberikan kesempatan yang terbuka kepada rakyat untuk mermilih calonnya.
Dikatakan, dengan sistem terbuka rakyat bisa memilih, menentukan calonnya, dengan bebas. Jangan sampai hanya untuk kepentingan elit oligarki sistem yang sudah bagus dirusak dan dikembalikan ke masa lalu. “Golkar berharsil menggalang partai lain untuk tetap menjaga sistem proporsional terbuka”, tuturnya.
Menurut Dave, Golkar sebenarnya tidak bermasalah bila sistem tertutup digunakan. “Bagi Golkar sistem apapun tidak masalah bila diterapkan”, ungkapnya. Dikatakan dari Pemilu 1971 hingga 2004 yang menggunakan sistem tertutup, Golkar tetap bisa survive. Meski demikian ditegaskan partainya tidak berpikiran untuk kepentingan elit partai. Golkar tetap ingin masyarakat bisa memiliki hak untuk memilih dan menyampaikan pandangannya dengan bebas dan luas.
Dengan sistem proporsional terbuka, masyarakat bisa mengenal calon wakil rakyat. Menurutnya masyarakat harus tahu kita dan masyarakat harus merasakan manfaat kehadiran kita di dapil. “Salah satu fungsi anggota parlemen adalah fungsi aspirasi”, ujarnya. “Kalau kembali ke sistem tertutup maka aspirasinya akan berkurang bahkan hilang”, tambahnya.
Untuk itu dirinya menegaskan jangan sampai demokrasi diberangus, diputus, dihilangkan sehingga tidak ada lagi pendekatan-pendekatan ke masyarakat.
Pembicara lain dalam diskusi itu, Wahyu Sanjaya, membenarkan apa yang dikatakan oleh Dave kalau tidak ada sistem pemilu yang sempurna. “Sistem yang sudah ada, sistem terbuka, sudah baik”, ujar anggotra MPR/DPR dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Dikatakan dengan sistem terbuka, tingkat partisipasi pemilih sudah terbaik karena rakyat ingin melihat calon yang mereka dukung bisa terpilih. “Kalau dikembalikan ke sistem tertutup, kesempatan bagi rakyat untuk mengenal calonnya menjadi berkurang”, tuturnya.
Diungkapkan bahwa bangsa ini telah berjuang demi tegaknya reformasi. Bila kembali ke sistem tertutup maka hal demikian mengkhianati reformasi. Ditegaskan sistem terbuka atau tertutup sebenarnya domainnya ada di DPR bukan di tempat lain (MK).
Pengamat Politik Ujang Komarudin yang dalam kesempatan itu juga hadir sebagai pembicara menuturkan sistem terbuka banyak nilai baiknya. Hanya orang-orang yang bekerja dan dekat dengan rakyatlah yang akan terpilih. “Bila menggunakan sistem tertutup maka hal yang demikian akan menutup calon-calon dari kalangan aktivis dan orang-orang yang benar bekerja di lapangan”, ujarnya. “Tak hanya itu kembali ke sistem terutup akan mengembalikan bangsa ini ke masa Orba", tambahnya.