Soal Hukum Pembabatan Hutan Baru, Menko Airlangga Menilai Uni Eropa Lakukan 'Imperialisme Regulasi'
Menko Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto menilai Uni Eropa telah melakukan "imperialisme regulasi" dengan hukum pembabatan hutan.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto menilai Uni Eropa telah melakukan "imperialisme regulasi" dengan hukum pembabatan hutan baru mereka.
Meski begitu, Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara siap untuk terus bernegosiasi mencapai kesepakatan kemitraan ekonomi komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) dengan blok Uni Eropa.
“Hal ini dilakukan, bersamaan dengan konsultasi terpisah untuk menyelesaikan sengketa mengenai aturan pembabatan hutan Uni Eropa,” kata Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia dan Ketua Umum Partai Golkar, kepada Reuters.
Lebih lanjut, Airlangga juga menyampaikan pemerintah Indonesia ingin kesepakatan FTA diselesaikan setelah perundingan yang berjalan tujuh tahun.
Tapi, jika Uni Eropa tidak mau mengakui standar ekspor yang ada seperti minyak sawit berkelanjutan dan produk kayu dalam aturan pembabatan hutan, pria yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini juga menekankan Indonesia 'bisa menunggu tujuh tahun lagi'.
"Kami sedang membahas untuk memfasilitasi perdagangan. Tetapi seiring itu, mereka membangun tembok. Ini tidak adil," kata Airlangga, yang mengangkat isu tersebut di Brussels pekan lalu bersama dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia.
Airlangga menyebut sengketa yang sedang berlangsung dengan Uni Eropa, termasuk keluhannya di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor bijih nikel Indonesia dan kasus WTO terpisah yang diajukan oleh Indonesia terkait penghapusan minyak sawit sebagai bahan bakar bio di Uni Eropa.
“Rencana Uni Eropa untuk memberlakukan pajak karbon juga dapat berdampak pada produk nikel Indonesia,” kata Airlangga, yang menggambarkan aturan Uni Eropa sebagai "imperialisme regulasi".
Sementara Juru bicara Komisi Eropa mengatakan Uni Eropa menyadari kekhawatiran terkait hukum pembabatan hutan tersebut dan menjamin bahwa aturan tersebut tidak akan diskriminatif atau digunakan sebagai hambatan perdagangan yang terselubung.
"CEPA dengan Indonesia akan mencakup platform untuk kerja sama dalam menghadapi tantangan bersama seperti pembabatan hutan," kata juru bicara tersebut. Ia menambahkan bahwa negosiasi dijadwalkan pada bulan depan.
Sementara Malaysia telah mengatakan bahwa sengketa terkait hukum Uni Eropa tidak akan berpengaruh pada negosiasi FTA mereka yang terhenti.
Aturan tersebut, yang disahkan oleh parlemen Eropa pada April lalu, melarang impor Uni Eropa atas sejumlah komoditas yang terkait dengan pembabatan hutan. Indonesia sendiri memiliki hutan hujan terluas ketiga di dunia.
Indonesia juga merupakan eksportir minyak sawit terbesar di dunia dan merupakan pemasok global utama untuk kopi, kakao, karet, dan produk kayu.
“Sekitar 6 miliar euro (Rp96 triliun) dari total ekspor tahunan Indonesia akan terkena dampak dari hukum pembabatan hutan tersebut,” ungkap Airlangga.
Indonesia berargumen bahwa hukum tersebut akan merugikan petani kelapa sawit kecil, menghambat upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, karena petani akan kesulitan mematuhi aturan geolokasi.
Indonesia juga khawatir akan diberi label sebagai negara "berisiko tinggi" yang dapat mengakibatkan inspeksi yang lebih mahal untuk produk-produknya.
Pemerintah menyatakan tingkat pembabatan hutan telah menurun, namun para aktivis lingkungan mengatakan bahwa beberapa petani dan perusahaan masih melakukan pembabatan hutan untuk penanaman kelapa sawit.
Indonesia juga termasuk dalam sepuluh negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, terutama karena pembabatan hutan dan lahan gambut.
Secara terpisah, Airlangga mengatakan bahwa Indonesia juga telah mengusulkan agar Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik yang dipimpin oleh AS mencakup perjanjian perdagangan tentang mineral kritis, sehingga perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dapat mendapatkan manfaat dari kredit pajak AS.
Masih kata Airlangga, usulan tersebut sudah mendapat dukungan dari negara-negara Asia Tenggara lainnya serta Australia, setelah Indonesia mengusulkan FTA terbatas dengan AS yang mencakup bahan baku baterai.
Perundingan dengan Uni Eropa dan negosiasi CEPA yang sedang berlangsung terkait deforestasi ini memang akan terus jadi perhatian utama dalam hubungan ekonomi antara kedua belah pihak. Indonesia mengharapkan bisa mencapai kesepakatan yang adil dan saling menguntungkan, bersamaan dengan menjaga lingkungan dan petani-petani kecil di industri kelapa sawit.