Kritisi Permasalahan Ibu dan Anak, HNW: Pemerintah Harusnya Serius dan Mestinya Kuatkan KemenPPPA
Hidayat Nur Wahid, menyampaikan kritik bahwa hingga di bulan-bulan terakhir Pemerintahan Presiden Jokowi
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota DPR-RI Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang membidangi urusan Ibu dan Anak, Hidayat Nur Wahid, menyampaikan kritik bahwa hingga di bulan-bulan terakhir Pemerintahan Presiden Jokowi, ternyata bahkan menurut pengakuan terbuka Presiden Jokowi sendiri, angka kematian ibu dan anak di Indonesia masih sangat tinggi. Karenanya HNW, sapaan akrabnya mengusulkan, agar ada langkah kongkret dan kebijakan terobosoan dari Pemerintahan baru agar Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) bisa dikuatkan menjadi Kementerian Teknis, tidak sekedar koordinatif seperti sekarang, dengan anggaran yang lebih baik, sehingga dapat lebih efektif dan agresif dalam menuntaskan permasalahan ibu dan anak.
“Pernyataan Presiden Jokowi saat meresmikan gedung Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di RS Sardjito,Yogya (Rabu, 28/8) bahwa Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia mencapai 189 per 100.000 kelahiran hidup, menjadikan Indonesia peringkat kedua tertinggi di ASEAN. Itu hanya mengugguli Kamboja. Dan angka kematian bayi mencapai 16,85 per 1000 kelahiran hidup. Ini menjadikan Indonesia berada pada rangking 7 di atas Kamboja dan Laos. Bahkan, data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan jumlah kematian ibu pada tahun 2023 meningkat menjadi 4.129 dari 4.005 pada tahun 2022. Sedangkan kematian bayi meningkat drastis dari 20.882 pada tahun 2022 menjadi 29.945 pada tahun 2023. Ini jelas menunjukkan adanya masalah serius dalam penanganan kesehatan ibu dan anak di Indonesia, hingga di bulan-bulan terakhir masa jabatan Presiden Jokowi,” disampaikan HNW dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR-RI bersama Menteri PPPA dan Ketua KPAI, Senin (2/9).
Anggota DPR-RI Fraksi PKS ini menjelaskan bahwa UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU Nomor 4 Tahun 2024) yang telah disahkan sebenarnya sudah menyediakan berbagai instrumen yang, jika dioptimalkan, dapat secara signifikan mengurangi angka kematian ibu dan bayi di Indonesia.
Salah satu langkah kunci adalah memberikan dukungan menyeluruh bagi kesejahteraan ibu dan anak sejak persiapan kehamilan, masa kehamilan, hingga anak berusia dua tahun. Dukungan ini diamanatkan untuk diberikan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah berdasarkan kebutuhan spesifik ibu dan anak, dengan ketentuan yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
“Dukungan ini sangat penting, karena mencakup pelayanan kesehatan dan gizi, layanan kesejahteraan sosial, hingga edukasi bagi calon pengantin. Semua ini dirancang untuk mencegah stunting dan kasus kematian ibu dan bayi, namun tanpa peraturan turunannya, UU KIA tidak akan bisa dijalankan secara efektif,” jelas Hidayat.
Hidayat menambahkan bahwa implementasi UU KIA memerlukan setidaknya empat Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres). Peraturan-peraturan ini akan mengatur berbagai aspek, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pengawasan, dan evaluasi, hingga pengelolaan data dan informasi yang diperlukan untuk mendukung kesejahteraan ibu dan anak.
“Yang lebih fundamental, agar kesejahteraan ibu dan anak bisa ditingkatkan melalui berbagai sektor, diperlukan koordinasi lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, yang hanya bisa dilakukan dengan adanya Peraturan Presiden. Saya mendesak agar seluruh peraturan ini bisa dirampungkan di tahun ini, agar segera efektif dalam mengejar target penurunan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia serta penurunan angka stunting yang masih pada sekitar 21 persen, masih jauh dari target untuk bisa dipenuhi pada tahun 2024 yaitu 14%,” ujar Hidayat.
Perlunya penguatan Kemen PPPA baik pada status, program maupun anggarannya juga karena di saat negara-negara lain mengalami penurunan angka kematian ibu dan bayi, Indonesia justru mengalami peningkatan. Secara global, rasio kematian ibu dari tahun 2000 hingga 2020 menurun sebesar 34%, sementara angka kematian balita pada 2022 juga turun menjadi 4,9 juta menurut UNICEF.
“Untuk mengatasi masalah ini, kami di komisi VIII DPRRI sudah berkali-kali mengusulkan peningkatan anggaran dan kewenangan untuk KemenPPPA, namun tak kunjung dipenuhi. Malah sebaliknya, anggarannya justru dipangkas dari Rp 311 Miliar di tahun 2024 menjadi Rp 300,6 Miliar untuk tahun 2025. Itu pun yang digunakan untuk program perlindungan anak hanya Rp 42,8 Miliar sebagaimana tercatat pada Nota Keuangan 2025, tentu nominal yang terlampau kecil untuk level Kementerian,” lanjutnya.
Hidayat mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah nyata dalam menyelesaikan seluruh aturan turunan UU KIA dan memastikan KemenPPPA memiliki sumber daya yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Tanpa langkah-langkah konkret ini, ia menilai tidak akan ada perbaikan signifikan dalam angka kematian maupun kasus lainnya terhadap ibu dan anak di Indonesia.
“Oleh karena itu KemenPPPA sebagai leading sector urusan Ibu dan Anak penting oleh pemerintahan Presiden Prabowo yang akan datang, dan sesuai ketentuan Konstitusi, agar ditingkatkan anggaran dan statusnya, dari sekedar koordinatif menjadi Kementerian Teknis. Agar bisa efektif membuat terobosan. Tanpa terobosan demikian maka kasus-kasus terhadap Ibu dan Anak, serta angka stunting, akan terus jadi masalah bahkan bisa meningkat jumlahnya yang karenanya akan menghadirkan bukan generasi emas, tapi generasi lemas dan cemas, suatu hal yang tidak sesuai dengan program strategis Pemerintah yaitu memanen bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045," pungkas Hidayat.