Arteria Dahlan: UU Cipta Kerja Harus Ubah Paradigma Berpikir Buruh
Kami juga memahami suasana kebatinan pekerja, karena RUU ini berhubungun langsung dengan buruh. Ada 10 critical issue di RUU ini.
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Panja RUU Cipta Kerja dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan menegaskan perlu adanya perubahan paradigma cara berpikir buruh dengan adanya UU Cipta Kerja. Buruh harus bisa menempatkan dirinya untuk tidak selalu menerima upah minimum yang ditetapkan.
“Kami mendapatkan penugasan dan amanah dari pembina fraksi sekaligus Ketua DPR RI Ibu Puan Maharani, bahwa dalam membahas RUU Cipta Kerja, harus dapat membawa manfaat bagi rakyat. Manfaat Kepentingan umum untuk masyarakat, pengusaha dan pemerintah,” kata Arteria Dahlan, Anggota Panja RUU Cipta Kerja dari Fraksi PDIP.
Bagi PDIP, kepentingan rakyat adalah hukum dan orientasi fraksi dalam membahas Omnibus Law. “Kami paham bahwa lewat RUU Cipta Kerja ini maka kinerja pemerintah bisa lebih efektif. Lewat transformasi pasca Covid-19 yang tantangannya adalah mempermudah lapangan kerja,” ungkap Arteria.
Untuk itu dibutuhkan penyederhanaan, sinkronisasi dan pemangkasan peraturan perundangan. Pasalnya, regulasi saat ini hyper regulasi atau tumpang tindih, dan harus ada efektivitas birokrasi.
“Kami juga memahami suasana kebatinan pekerja, karena RUU ini berhubungun langsung dengan buruh. Ada 10 critical issue di RUU ini. Makanya pembahasan ketenagakerjaan ini dibahas terakhir. Ini dilakukan untuk menampung dan menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya, agar buruh puas dan menghasilkan formula yang menguntungkan semua pihak,” ungkap Arteria.
Arteria mengaku dari semua elemen buruh dan serikat pekerja juga federasi semua sudah dimintai masukan. Memang menurut Arteria hal itu tidak mudah karena semuanya ada irisan.
“Bagaimana pun kita wajib melindungi buruh dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Ini hubungannya dengan pekerja yang existing. Namun kita juga dituntut pula menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Kita juga harus memberikan insentif berusaha dan kemudahan investasi,” tambah Arteria.
Ramuan-ramuan yang didapat dari semua masukan itu diyakini tidak dapat memuaskan 100 persen para pihak. “Tapi bagi saya pribadi yang mengikuti sejak awal, minimal 98 persen ini semua sudah terakomodir,” ucapnya.
Ia juga mengakui dari pembahasan 15 bab dan 11 klaster, yang paling bising adalah klaster ketenagakerjaan.
“Namun kita lihat akhirnya semua yang diinginkan teman-teman serikat pekerja diakomodiir. Bahkan aturannya dikembalikan ke UU existing. Kecuali dua hal yakni terkait komponen upah dan pesangon," ujarnya.
Namun jika komponen upah ini dibaca dan dicermati lebih jauh lagi, maka Arteria menyatakan tak ada bedanya dengan UU yang lama. Misalnya tentang upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK) yang diubah.
“Policy soal ini bukannya hilang. Tapi intinya bagaimana memindahkan paradigma lama ke paradigma baru,” kata Arteria.
Untuk itu perlu adanya dialog sosial antara pengusaha dan pekerja. Arteria mengingatkan dialog tidak melulu pada tuntutan UU, karena UU itu hanya memberikan batas minimal. “Buruh sebenarnya tidak layak dapat batasan minimal,” tambah Arteria.
Untuk itulah buruh harus bicara dengan pengusaha, karena pengusaha itu yang tahu skillnya buruh, kompetensi buruh, cash flow perusahaan dan badan usahanya. “Jadi konsep upah itu tidak terganggu. Tapi paradigma berpikirnya yang kita coba ubah,” tambah Arteria.
Namun RUU Cipta Kerja sendiri memastikan bahwa ada jaminan kuota 6 persen yang dibayar pemerintah. Pemerintah sendiri akan memberikan suntikan sebesar 6 triliun kepada BPJS untuk JKP (jaminan kehilangan pekerjaan).
“Konsepnya RUU ini tidak mengurangi hak buruh. Banyaknya yang menguntungkan. Kami mendasarkan pembahasan pada hal-hal yang substantive,” ungkap Arteria.
Sementara masalah outsourcing, PKWT dan lain-lain juga sudah dikembalikan ke UU no 13 yang lama. “Kami mohon dicermati agar buruh juga bisa paham tentang UU Cipta Kerja ini,” ujar Arteria.