Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Lifestyle

Kala Alunan Gamelan Diracik Bersama Musik Simfoni

Alunan gamelan Jawa jadi berkesan lebih berkelas saat diracik dalam suguhan musik simfoni seperti ini.

Penulis: Daniel Ngantung
Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Kala Alunan Gamelan Diracik Bersama Musik Simfoni
Tribunnews.com/ Daniel Ngantung
Saat gamelan disuguhkan dalam bentuk simfoni. 

Laporan Wartawan Tribun Jakarta,
Daniel Ngantung

TRIBUNNEWS.COM - Musik itu bahasa universal. Saking universalnya, cukup mampu melampaui batas dua budaya yang berbeda.

Inilah yang terlihat dalam konser "Wayang in Symphony", gelaran Yayasan Lontar bersama Orkes Simfoni Jakarta (OSJ), di Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Sabtu (24/11/2012) malam.

Sesuai dengan tajuknya, musik jawa yang notabenenya bertangga nada pentatonik (skala dengan lima not per oktaf) ditampilkan dalam format orkestra yang identik dengan musik simfoni.

Musik simfoni sendiri berasal dari budaya barat dengan tangga nada diatonik (skala dengan tujuh not per oktaf). Dalam formasinya, orkes simfoni terdiri dari violin 1 dan 2, viola, cello, woodwind, harpa, dan sebagainya.

Kalau biasanya, orkes simfoni menggunakan alunan gamelan untuk menghadirkan nuansa jawa, justru dalam konser ini, orkes simfonilah yang menjadi gamelannya. Nuansa jawa mengental dengan hadirnya kendang dan sindenan.

Nomor-nomor yang ditampilkan oleh OSJ diadaptasi dari karya sastra kuno berjudul "Hastabrata". Karya ini berkisah tentang delapan sifat alam yang melengkapi kesempurnaan dan keteladanan seorang pemimpin yang ditampilkan dalam lakon wayang Makutharama. Delapan elemen alam itu adalah bumi, api, air, angin, bintang, bulan, matahari dan alam.

Berita Rekomendasi

Di sinilah tantangannya, bagaimana menerjemahkan gamelan jawa yang ilustratif dan bersifat 'klenengan' harus tampil 'solistik' dalam format simfoni.

Adalah Ki Joko "Lemazh" Suprayitno sebagai komposer, Yudianto Hinupurwadi sebagai pengarah musik dan konduktor, dan Jose Rizal Manua sebagai sutradara acara, tiga sosok dibalik "proyek eksperimental" itu.

"Mungkin tidak semua orang bisa menerimanya. Saya sudah siap dengan pro dan kontra. Tapi kalau tidak ada yang memulainya, siapa lagi?" ujar Yudianto.

Direktur Eksekutif Yayasan Lontar, Kestity Pringgoharjono, mengungkapkan, pengemasan musik jawa dan kisah perwayangan dalam format musik simfoni adalah salah satu cara untuk melestarikan dan mengangkat kembali karya sastra kuno dan kisah perwayangan yang kini mulai dilupakan. Pelestarian sastra dan budaya Indonesia memang menjadi fokus kerja Yayasan Lontar yang tahun ini genap berusia 25 tahun pada Hari Sumpah Pemuda lalu.

Konser yang dibuka dengan pengumuman lomba foto dan music remix ini berlangsung sekitar 90 menit. Pertunjukan wayang yang disajikan dengan permainan tata cahaya menjadi latar-belakang indah alunan orkestra. Setiap kisah wayang yang ditampilkan di balik sebuah layar besar di belakang panggung mewakili elemen alam yang sedang dibawakan oleh orkestra.


Konser ini tak menyajikan musik yang unik semata. Prolog-prolog tentang watak seorang pemimpin yang dibacakan oleh sang sutradara sendiri di setiap sela pergantian lagu seakan menjadi wejangan bermanfaat buat penonton.

Tentu saja konser semacam ini memberi kesegaran tersendiri di tengah maraknya konser-konser yang menampilkan musik mainstream.

Bagi para penonton, baik orang barat khususnya maupun bukan yang terbiasa mendengar musik simfoni, konser ini seolah menjembatani mereka untuk mengenal budaya Indonesia yang kaya akan karya sastra, musik, begitu pula kekreatifitasan orangnya sebagaimana yang dilakukan tiga sosok tersebut.

Baca artikel menarik lain sebelumnya

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas