Dramatisasi Endek Bali ala Deden Siswanto di JFFF 2014
Bukan Deden Siswanto namanya kalau tidak gelap dan dramatis. Termasuk dalam tema rancangannya di JFFF 2014.
Penulis: Daniel Ngantung
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Daniel Ngantung
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bukan Deden Siswanto namanya kalau tidak gelap dan dramatis. Ini bukan soal kepribadiannya, melainkan busana-busana rancangannya.
Di peragaan tunggalnya yang bertajuk "Culturecstatic" di Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF), Kamis (22/5/2014), kesan tersebut begitu santer terasa lewat kreasinya yang kali ini mengangkat kain endek Bali.
Deden memang dikenal cukup lihai dalam mengolah wastra tradisional menjadi sebuah koleksi busana yang sesuai dengan garis desainnya tanpa harus mengorbankan keindahan kain itu sendiri.
Ini tak lepas dari tekadnya untuk menjembatani gap yang memisahkan masyarakat Indonesia modern dengan kebudayaannya demi melestarikan budaya tersebut.
Tak cukup melalui busana, presentasinya ketika di atas panggung pun juga menjadi aspek penting untuk memastikan misi "memasyarakatkan" kain tradisional tercapai.
Peragaan malam itu dibuka dengan visualisi upacara adat Bali yang dicitarakan dalam nuansa magis dan dramatis ke layar LED raksasa di panggung.
Nuansa itu juga didukung dengan alunan musik upbeat bernuansa tribal. Peragaannya terbagi ke dalam empat sekuen yaitu upacara keagamaan, "art", penari dan legong, dan Kejayaan Kerajaan Bali.
Sebelum Deden, memang sudah banyak desainer yang mencoba mengangkat endek. Namun, diakui Deden, justru di situlah tantangannya.
"Tantangannya adalah bagaimana mengolah kain ini agar tidak sama dengan yang sudah ada," ujar desainer kelahiran Bandung, 29 Agustus 1968 ini, saat ditemui Tribunnews.com dalam jumpa pers pembukaan JFFF 2014.
Semakin menantang karena Deden tidak melakukan teknik cutting yang berlebih pada kain agar estetika kain itu sendiri tidak memudar.
Untuk rok pensil berbahan endek misalnya, Deden menghadirkannya seperti sarung yang dililit secara bertumpuk. Potongan pinggangnya tinggi sehingga memberi kesan lebih modern.
Bawahan tersebut dipadukan dengan blouse organza dalam palet natural dan jewel tone dengan aksen leher tinggi yang memberi kesan sophisticated bagi pemakainya.
Bahan lainnya yang ia eksplor sebagai material pendukung antara lain tulle, damask, dan linen. Semuanya dipadupadan sedemikian rupa. Koleksinya kian menarik dengan permainan teknik lipit dan embroidery.
Malam itu, Penasehat Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Jawa Barat ini turut menghadirkan pilihan gaun malam yang didominasi palet gelap dengan aksen embroidery berupa ukiran nuansa emas. Di sekuen ini, kesan dramatis dan romantis begitu santer terasa.
Namun Deden tak melupakan aspek keanggunan dengan menambahkan aksen train atau buntuk yang flowy dan menyapu lantai.