Little Niagara di Pelosok Cianjur
Karena belum tahu dan ingin melihat sendiri keindahan air terjun yang disebut-sebut sebagai Niagara mini
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- CURUG Cikondang. Bagi sebagian orang, terutama para pelancong dan penyuka petualangan, nama curug ini sudah sekondang namanya. Tapi tidak bagi saya dan beberapa rekan dari Komunitas Ulin Jarambah. Karena belum tahu dan ingin melihat sendiri keindahan air terjun yang disebut-sebut sebagai Niagara mini itulah, pertengahan Oktober lalu, kami pun ulin (bermain) menuju Curug Cikondang yang berada di Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.
Sebenarnya tujuan utama perjalanan kali ini adalah situs megalitikum Gunung Padang, yang masih satu kecamatan dengan Curug Cikondang. Tapi kami memilih ke Curug Cikondang lebih dulu, agar lebih nyaman saat perjalanan pulang dari Gunung Padang.
Sebenarnya apa arti nama Cikondang? Apakah berarti tenar atau beken? Ternyata bukan. Nama Kondang tidak ada kaitannya dengan itu. Nama serupa ada pla di sejumlah daerah, seperti Kampung Adat Cikondang di Desa Lamajang, Pangalengan atau Desa Cikondang di Majalengka.
Ci tentu berasal dari kata cai, yang berarti air. Kondang adalah nama sejenis pohon loa atau dalam bahasa latinnya Ficus subracemosa Blume. Pohon ini bisa tumbuh setinggi 40 meter dan diameter 1,75 meter. Ditemukan di hutan-hutan Asia Tenggara, biasanya di Jawa tumbuh di ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut.
Curug Cikondang berjarak sekitar 37 kilometer arah tenggara dari pusat kota Cianjur. Setidaknya ada dua jalur yang bisa ditempuh dari pusat kota Cianjur untuk menuju curug ini. Jalur pertama, dari jalan raya Cianjur-Sukabumi belok kiri ke Jalan Cilaku, lanjut Cibeber. Kedua, melalui jalur Warung Kondang dan Lampegan.
Kami memilih memakai jalur pertama melewati Cilaku dan Cibeber. Selain memang lebih dekat dari pusat kota Cianjur, kami tahu perjalanan pulang nanti tidak akan terganggu jalan yang rusak.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 4,5 jam dari Padalarang, melewati jalan yang tidak begitu lebar dan menanjak di beberapa lokasi, kami pun tiba di kawasan Curug Cikondang.
Halaman rumah milik warga pun menjadi arena parkir para pengunjung yang datang ke tempat ini. Rupanya di akhir pekan, cukup banyak pelancong yang datang. Di saat kami datang, sudah ada serombongan pemotor yang touring ke Curug Cikondang.
Dari tempat parkir atau jalan Desa Sukadana, pengunjung harus melewati jalan setapak di pinggiran perkebunan teh PTPN VIII Panyairan. Tak jauh dari gerbang, ada loket masuk Curug Cikondang. Setiap pengunjung cukup membayar Rp 5.000. Sepertinya, retribusi ini masih dikelola secara mandiri oleh pihak Desa Sukadana atau serikat pekerja perkebunan. Itu terlihat dari tiket masuk yang berupa kertas kecil mirip gulungan kertas untuk arisan, namun memakai cap SP BUN Panyairan.
Dari loket itu, kami melanjutkan perjalanan kembali. Tak terlihat ada tanda-tanda keberadaan sebuah air terjun. Namun ketika sampai di sebuah tikungan, di situ terlihat ada sebuah sungai. Rupanya itulah puncak air terjunnya.
Kami pun bergegas ingin segera tiba dan merasakan semburan air terjun yang segar. Melewati tepian kebun teh, akhirnya sampai juga kami di Curug Cikondang. Kami langsung disuguhi pemandangan menakjubkan.
"Wow, Subhanallah, luar biasa," hanya itu ucapan yang terlontar menyaksikan pemandangan indah di depan mata ini.
Bagaimana tidak indah, air mengalir begitu deras, terjun dari mulut curug. Dan aliran air itu melebar, mungkin sekitar 30 meter, sehingga terkesan curug ini besar.
Ketinggian air terjun sekitar 50 meter. Jika Anda pernah berkunjung ke Curug Malela di Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat, kurang lebih bentuknya sama. Tak heran julukan Little Niagara atau Niagara mini pun mampir ke Curug Cikondang. Namun debit air saat itu sedikit berkurang. Mungkin karena faktor kemarau membuat curahan air tidak merata di mulut curug.
Tentu saja kami memanfaatkan momen itu untuk berfoto-foto dan bernarsis ria. Sayang, tidak satu pun diantara kami yang menceburkan diri ke kolam di bawah curug atau mandi curahan air terjun. Padahal, dari rombongan yang lain, justru asyik berbasah-basahan, berenang, atau pun berendam.
Selain dikunjungi rombongan, tempat ini cocok juga didatangi pasangan atau mereka yang sedang berpacaran. Tak heran, di beberapa spot bagian bawah curug, ada saja pasangan yang memisahkan diri dari keramaian. Asyik dengan dunia mereka sendiri.
Tapi mereka yang berenang atau sekadar berendam di Curug ini mesti berhati-hati juga. Di bagian atas curug ini, terdapat pengolahan atau penambangan emas secara tradisional. Biasanya, pengolahan emas ini melewati proses amalgamasi dengan menggunakan air raksa atau merkuri untuk memisahkan emas dari tanah.
Sayang, di tempat ini belum ada fasilitas penunjang. Tidak ada kamar mandi umum, toilet, atau musala. Yang ada hanya sebuah warung kecil untuk sekadar mengganjal perut yang keroncongan.
Beruntung rombongan kami sempat berhenti dulu di Pasar Cibeber untuk membeli nasi dan lauk pauk. Di pelataran curug, diterpa semburan kabut air, kami makan siang dengan menu sederhana namun terasa nikmat dan mengenyangkan. (machmud mubarok)