Kisah Kawin Emas dan Sepotong Ikan Emas
Suasana tiba-tiba hening dan senyap. Tiba-tiba, samar-samar terdengar isak tangis si istri pejabat senior.
Editor: Mohamad Yoenus
Ketika tangan sang isteri menerima piring itu, serentak hadirin bertepuk tangan dengan meriah sekali.
Untuk beberapa saat, mereka tampak ikut terbawa oleh suasana romantis, penuh kebahagiaan, dan mengharukan tersebut.
Suasana tiba-tiba hening dan senyap. Tiba-tiba, samar-samar terdengar isak tangis si istri pejabat senior.
Sesaat kemudian, isak tangis itu meledak dan memecah kesunyian gedung pesta.
Para tamu yang ikut tertawa bahagia mendadak diam menunggu apa gerangan yang bakal terjadi.
Sang pejabat tampak kikuk dan kebingungan. Lalu ia mendekati istrinya dan bertanya, “Mengapa engkau menangis, isteriku?”
Setelah tangisan reda, sang istri menjelaskan, “Suamiku…sudah 50 tahun usia pernikahan kita. Selama itu, aku telah melayani dalam duka dan suka tanpa pernah mengeluh," ujar seorang istri.
"Demi kasihku kepadamu, aku telah rela selalu makan kepala dan ekor ikan emas selama 50 tahun ini. Tapi sungguh tak kusangka, di hari istimewa ini engkau masih saja memberiku bagian yang sama. Ketahuilah suamiku, itulah bagian yang paling tidak aku sukai.”
Pejabat senior terdiam dan terpana sesaat.
Lalu dengan mata berkaca-kaca pula, ia berkata kepada istrinya,” Isteriku yang tercinta, 50 tahun yang lalu saat aku masih miskin, kau bersedia menjadi istriku. Aku sungguh-sungguh bahagia dan sangat mencintaimu," ujarnya.
"Sejak itu aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa seumur hidup aku akan bekerja keras, membahagiakanmu, membalas cinta kasih dan pengorbananmu.”
Sambil mengusap air matanya, pejabat senior itu melanjutkan, “Demi Tuhan, setiap makan ikan emas, bagian yang paling aku sukai adalah kepala dan ekornya. Tapi sejak kita menikah, aku rela menyantap bagian tubuh ikan emas itu. Semua kulakukan demi sumpahku untuk memberikan yang paling berharga buatmu.”
Lalu ia melanjutkan lagi, “Walaupun telah hidup bersama selama 50 tahun dan selalu saling mencintai, ternyata kita tidak cukup saling memahami. Maafkan aku, jika hingga detik ini belum tahu bagaimana cara membuatmu bahagia.”
Akhirnya, sang pejabat memeluk istrinya dengan erat.