Mitos-Mitos Seputar Pernikahan yang Keliru
Ketika Anda mencintai seseorang, maka segala mitos paling menakutkan sekali pun, seharusnya tidak menggentarkan niat Anda
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM - Bicara soal pernikahan memang sangat menarik. Sebab, banyak sekali mitos soal pernikahan yang beredar di masyarakat, tetapi tak semuanya terbukti benar.
Oleh karena itu , seorang pakar hubungan dan etika, sekaligus rekan pendiri I Do Now I Don’t, Mara Opperman membeberkan empat mitos pernikahan yang salah kaprah, berikut penjelasannya.
Selain itu, Opperman yang juga seorang Director of Communications and Client Relations di DelGatto, mengatakan bahwa banyak cerita dan mitos soal pernikahan yang tidak perlu Anda dengar.
Pasalnya, Opperman menjelaskan bahwa ketika Anda mencintai seseorang, maka segala mitos paling menakutkan sekali pun, seharusnya tidak menggentarkan niat Anda untuk berumahtangga bersama si dia.
Menikahlah di usia 30-an
Anda di tahap “emas” kehidupan. Karier Anda sudah menunjukkan sinar terang untuk mencapai tahap puncak. Finansial Anda mapan. Anda sudah mandiri.
Namun, sayang sekali, kehidupan percintaan Anda kurang beruntung. Anda masih sendiri.
Menurut Opperman, jangan terlalu diambil hati pertanyaan orang mengenai kapan Anda menikah.
Sebab, bisa jadi mereka adalah orang-orang dengan pola pikir tua.
“30 adalah angka di mana Anda sudah lulus kuliah, sudah bekerja selama beberapa tahun, dan otomatis sudah siap berumahtangga. Namun, kenyataannya, tidak semua orang bisa siap menikah di usia 30,” urainya.
Memiliki anak membuat pernikahan makin langgeng dan kuat
Banyak pasangan suami dan istri yang belum memiliki anak, menghadapi konflik rumahtangga. Lalu, solusi yang sering dikemukakan adalah agar mereka cepat punya anak supaya pernikahan harmonis.
“Banyak studi yang menunjukkan bahwa memiliki bayi bisa menghadirkan stres tinggi pada pernikahan. Bahkan, tak sedikit pasangan yang akhirnya berpisah karena tidak bisa mengatasi beban dan tanggungjawab di masa depan,” jelasnya.
Opperman mengatakan konflik yang dihadapi oleh pasangan yang belum memiliki anak, tidak sontak selesai dengan kehadiran anak.