''360 Degree of Generation Z'', Pentingnya Investasi untuk Si Buah Hati
Semua generasi memiliki cara yang berbeda untuk tumbuh dan berkembang. Tak terkecuali generasi yang tengah tumbuh kembang pada era digital abad ke-21.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Semua generasi memiliki cara yang berbeda untuk tumbuh dan berkembang. Tak terkecuali generasi yang tengah tumbuh kembang pada era digital abad ke-21.
Anak-anak zaman kiwari yang akrab disebut "Generasi Z", tumbuh berbarengan dengan semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi.
Tak ayal, kedua aspek tersebut turut memengaruhi secara signifikan perbedaan cara hidup generasi sekarang dengan yang sebelum-sebelumnya.
Selain terdapat hal positif, juga terdapat ekses yang dihasilkan perkembangan iptek. Hal inilah, yang harus diketahui para orangtua yang memiliki peran sentral untuk memahami cara tepat membesarkan sang buah hati. Baik dari segi psikologis, keuangan, sampai persoalan pendidikan.
Konsern yang sama juga dimiliki oleh PT Bank DBS Indonesia.
Bersama CekAja.com, PT Bank DBS Indonesia berupaya mengajak orangtua dengan memberikan pendidikan seputar parenting melalui ajang "360 Degree of Generation Z" yang bertajuk "Invest for Happiness", yang digelar di Jade Room, Fairmont Hotel Jakarta, Sabtu (29/10/2016).
"Generasi Z adalah anak-anak yang terlahir dalam rentang tahun 1995-2010. Mereka adalah generasi digital yang sangat dekat dengan teknologi. Generasi Z hampir sama dengan generasi selanjutnya yaitu Generasi Alpha yang terlahir di atas tahun 2010," tutur Psikolog Anak, Rininta Meyftanoria, yang menjadi salah satu pembicara dalam ajang tersebut.
Selain itu, kata Rininta yang juga Founder of EUREKA, generasi Z juga memiliki karakteristik intensif berkomunikasi secara digital dan global.
"Generasi Z juga multitasking atau mampu mengerjakan beberapa hal dalam satu waktu," imbuhnya.
Ia mengatakan, generasi Z terlahir di zaman yang sibuk. Sebab, dulu biasanya hanya sang ayah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Tapi kekinian, sambung Rininta, banyak kaum ibu masa kini juga yang ikut berkontribusi di dunia pekerjaan.
Alhasil, ayah dan Ibu berupaya melengkapi rumah dengan sumber daya lebih untuk menjamin anaknya tetap aman dan nyaman meski ditinggal kedua orangtuanya bekerja.
"Sumber daya yang dimaksud antara lain adalah pengasuh yang mampu mengawasi anak secara baik, serta gawai (gadget) canggih untuk memudahkan komunikasi dan sebagai salah satu alat permainan bagi anak. Generasi Z juga sudah bersekolah di usia yang sangat muda serta hanya memiliki sedikit saudara kandung,” katanya.
Karenanya, Rininta berpesan agar orangtua generasi masa kini perlu memperhatikan secara serius penggunaan gawai oleh si buah hati.
Pasalnya, terus Rininta, anak-anak bisa terkena dampak negatif dari teknologi, yakni terganggunya perkembangan motorik kasar, motorik halus, sosial, maupun emosional.
Terlalu sering terpapar gadget juga memicu daya konsentrasi yang rendah, adanya gangguan kesehatan seperti obesitas karena anak malas bergerak, hingga akses terhadap pornografi.
"Oleh karena itu orangtua perlu membatasi penggunaan gadget," tandasnya.
Pentingnya Investasi
Selain persoalan tersebut, orangtua juga harus memikirkan aspek keuangan yang sangat berpengaruh terhadap masa depan Generasi Z.
Apalagi, biaya pendidikan terus mengalami kenaikan, sehingga orangtua Generasi Z harus pandai mengatur strategi untuk menyiasatinya.
Head of Market Intelligence & Investment Specialist Team Bank DBS Indonesia, Markus Erik A, mengatakan investasi dapat menyelamatkan dari inflasi, termasuk dalam hal biaya pendidikan yang terus meningkat.
Contoh sederhananya, kata Erik, rata-rata inflasi mencapai sekitar 7 persen per tahun. Uang sebesar Rp 45 ribu–Rp 50 ribu saat ini dapat dipakai untuk membeli segelas kopi di kedai ternama, tapi 20 tahun kemudian harga kopi sudah mencapai Rp 174 ribu.
Jika uang sebesar Rp 50 ribu hanya tersimpan dalam tabungan, maka tidak akan bisa membeli kopi di kedai ternama 20 tahun mendatang.
Pun seandainya uang itu tersimpan di deposito, hanya akan mendapatkan imbal hasil 6 persen per tahun sehingga nilainya menjadi Rp 160 ribu. Jumlah ini masih kurang untuk membeli kopi.
"Namun, jika uang Rp 50 ribu tersimpan di instrumen investasi dengan imbal hasil mencapai 10 persen per tahun saja, nilainya akan menjadi Rp 336.000. Artinya investasi dapat menggerus inflasi.
Erik menerangkan, setidaknya terdapat empat tahap penting dalam berinvestasi. Pertama, mengetahui kebutuhan dan objektif Anda. Misalnya, kebutuhan untuk mempersiapkan pendidikan anak, berapa lama waktu yang tersedia untuk investasi, serta berapa jumlah yang dapat diinvestasikan.
Tahap kedua, kenali profil risiko agar dapat menyesuaikan dengan jenis instrumen investasi yang tepat. Ketiga, kenali berbagai instrumen investasi. Keempat, lakukan monitoring secara periodik. Monitoring bertujuan menyesuaikan investasi dengan kondisi ekonomi.
“Yang terpenting bukanlah seberapa besar Anda berinvestasi, tapi seberapa cepat Anda mulai berinvestasi. Orang yang investasi dengan jumlah Rp 10 juta bisa menghasilkan jumlah yang besar jika karena memulai lebih cepat, dibandingkan orang yang investasi dengan jumlah Rp 20 juta tetapi memulai belakangan,” kata Erik.
Selanjutnya, orangtua juga perlu memperhatikan betul aspek pendidikan. United Nations memperkirakan penduduk dunia pada 2030 akan mencapai 8,5 miliar orang.
Dalam kondisi semacam itu, kompetisi di dunia kerja akan semakin ketat. World Economic Forum bahkan memprediksikan 5 dari 7 pekerjaan yang tersedia nantinya adalah pekerjaan yang saat ini tidak ada.
CEO The Urban Mama, Ninit Yunita, mengungkapkan untuk menghadapi tantangan zaman, anak-anak Generasi Z perlu menguasai keahlian tertentu.
Ninit mengungkapkan, World Economic Forum sudah memaparkan 10 keahlian teratas yang dibutuhkan hingga tahun 2020.
Kesepuluh keahlian tersebut ialah, complex problem solving (menyelesaikan persoalan yang kompleks); critical thinking (berpikir kritis); creativity (kreatif); dan people management (manajemen massa).
Selanjutnya, coordinating with others (mampu bertindak koordinatif); emotional intelligence (memiliki intelejensia emosional); judgment and decision making (kemampuan menilai dan membuat keputusan); service orientation (berorientasi pelayanan); negotiation (kemampuan negosiasi); dan, cognitive flexibility (memiliki fleksibilitas kognitif).
“Karena kesemua keahilan tersebut tidak diajarkan di sekolah, maka sebaiknya orangtua turut berperan mengasahnya,” kata Ninit.
Menurut Ninit, ada beragam cara yang dapat dilakukan orangtua dalam kehidupan keseharian untuk mengasah skill anak.
"Misalnya, ketika mereka bertanya, berikan pertanyaan balik. Ini akan mengasah skill dalam bentuk analytical thinking. Ketika mereka melaporkan sebuah masalah, janganlah Anda langsung memecahkan masalah tersebut. Jadilah mentor dengan bertanya apa yang menurutnya harus dilakukan untuk menghadapi masalah tersebut. Ini akan mengasah skill dalam bentuk creativity dan problem solving," pungkasnya.