Pasangan Hidup Lebih Diutamakan
Dalam hubungan perkawinan, tidak benar bahwa yang harus lebih diutamakan adalah anak-anak.
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam hubungan perkawinan, tidak benar bahwa yang harus lebih diutamakan adalah anak-anak.
Justru merawat cinta pada pasangan hidup itu yang harus didahulukan, karena jika hubungan cinta sampai memudar dan terjadi perceraian, yang menderita justru anak-anak.
Pandangan itu diucapkan oleh motivator nasional di bidang leadership dan happiness, Arvan Pradiansyah, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (9/3/2017).
Arvan dimintai komentar sekitar tren meningkatnya angka perceraian di Indonesia.
Menurut catatan Kementerian Agama, terdapat tren peningkatan angka perceraian sebesar 16 sampai 20 persen pada periode sejak tahun 2009 hingga 2016. Sebagian besar perceraian itu terjadi pada pasangan yang berusia di bawah 35 tahun.
Arvan secara serius memberi resep untuk mengatasi hal itu, dengan saran untuk merawat cinta pada pasangan.
“Banyak orang tidak menyadari bahwa cinta itu harus dirawat. Yang dimaksud dengan merawat cinta di sini adalah mengeksplorasi hal-hal yang baru, yang belum kita temukan dari pasangan kita. Jadi seolah-olah pasangan kita itu selalu baru,” ungkap Arvan Pradiansyah.
“Sesudah menikah, orang umumnya merasa berada di zona nyaman. Karena sebelumnya mereka sudah berjuang keras mati-matian untuk mendapatkan cinta dari pasangan,” kata Arvan, yang kini menjadi Managing Director di Institute for Leadership & Life Management (ILM).
Padahal, sesudah menikah itu diakui Arvan Pradiansyah, kita sebenarnya selalu berada di zona tidak nyaman. Jodoh itu ada waktunya. Jodoh itu bukan berarti akan bertahan selama-lamanya.
"Menurut hasil penelitian, kasmaran itu hanya bertahan selama 2-3 tahun usia perkawinan,” ujar Arvan Pradiansyah.
Arvan Pradiansyah mengatakan bahwa setelah cinta yang menggebu-gebu di awal perkawinan, sesudah 5-10 tahun perkawinan, perasaan terhadap pasangan akan biasa-biasa saja.
Hal ini bukan berarti cinta itu hilang, tetapi cinta itu mengalami transformasi ke level yang lebih spiritual. Jadi, cinta itu bukan lagi sekadar bersifat fisik, biologis dan psikologis seperti di awal perkawinan. Di level spiritual itu, kita betul-betul mengasihi pasangan kita. Tandanya adalah kita selalu ingin memberi,” urai Arvan Pradiansyah.
Arvan menjelaskan, “jatuh cinta” adalah sesuatu yang berada di luar kendali kita, uncontrollable, bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Jatuh cinta adalah perkara alamiah. Namun, yang lebih penting dari sekadar jatuh cinta adalah “bangun cinta”.
“Bangun cinta adalah kata kerja aktif, bagaimana kita membina cinta dalam sebuah ikatan perkawinan. Membangun cinta membutuhkan usaha, kesadaran dari para pelakunya. Membangun cinta berada dalam kendali kita, controllable,” jelas Arvan Pradiansyah.
Cinta itu aktif. Cinta itu perlu selalu dirawat dan dipelihara melalui upaya serius agar tidak memudar.
“Maka istilah yang tepat bukan jatuh cinta, tetapi seharusnya bangun cinta!” selorohnya.
Arvan Pradiansyah kini menjadi narasumber tetap untuk talk show Smart Happiness, yang disiarkan di SmartFM Network setiap Jumat pukul 7.00-8.00 WIB.
Siaran itu disambungsiarkan ke lebih dari 30 kota di Indonesia.