Indonesia Peringkat 101 Negara Terbaik untuk Tumbuh Kembang Anak
Peringkat tersebut berdasarkan laporan global "Stolen Childhoods" yang diluncurkan oleh Save The Children bersama Yayasan Sayangi Tunas Cilik.
Penulis: Regina Kunthi Rosary
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia berada tepat satu ranking di bawah 100 negara terbaik untuk tempat tumbuh kembang anak.
Peringkat tersebut berdasarkan laporan global "Stolen Childhoods" yang diluncurkan oleh Save The Children bersama Yayasan Sayangi Tunas Cilik sebagai mitranya di Indonesia.
"Stolen Childhoods" merupakan laporan utama tahunan Save The Children yang memperkuat tujuan kampanye untuk menjangkau anak-anak yang tereksklusi.
Menurut laporan yang memuat daftar 172 negara tersebut, peringkat Indonesia ada di bawah Singapura (33), Malaysia (65), dan Thailand (84), namun di atas Myanmar (112), Kamboja (117), dan Laos (130).
Peringkat pertama diduduki oleh Norwegia, sementara Nigeria berada di peringkat terakhir.
Pemeringkatan negara-negara tersebut dilakukan berdasarkan serangkaian indikator terkait masa kanak-kanak.
Indonesia sendiri terindikasi memiliki 14,3 persen anak usia sekolah yang tak mengakses pendidikan dasar dan menengah.
"Peringkat Indonesia tak terlalu mengejutkan mengingat tingkat jumlah anak yang tak bersekolah di negar ini, terutama pada usia SMP sebagai bagian lanjutan dari wajib belajar sembilan tahun," ujar Ketua Pengurus Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC) Selina Sumbung dalam acara peluncuran "Stolen Childhood" di Gedung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta Pusat, Senin (5/6/2017).
Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 menunjukkan angka partisipasi sekolah di Indonesia mencapai 96,7 persen untuk tingkat SD, 77,82 persen untuk tingkat SMP, dan 59,71 persen untuk tingkat SMA.
Sementara itu, berdasarkan data UNICEF tahun 2016, sebanyak 2,5 juta anak Indonesia, yakni 600 ribu anak usia SD dan 1,9 juta anak usia SMP, tidak dapat menikmati pendidikan.
"Indonesia jelas telah menunjukkan kemajuan ekonomi dan pembangunan di tahun-tahun belakangan. Namun, kemiskinan masih menjadi persoalan yang harus diselesaikan, terutama mengingat bahwa anak menjadi kelompok yang paling rentan dengan diambilnya keputusan putus sekolah ketika keluarganya tak mampu menanggung biaya pendidikan tingkat selanjutnya," tutur Selina Sumbung.
"Sebagian besar dari anak-anak putus sekolah berasal dari keluarga tak mampu sehingga mereka terpaksa harus bekerja di usia dini untuk membantu ekonomi keluarga. Sementara itu, sebagian lainnya berhenti sekolah karena mengalami diskriminasi akibat kondisi fisik dan penyebab lain, termasuk pernikahan dini," lanjutnya.
Alhasil, sejalan dengan kampanye global "Every Last Child", Save The Children ikut menyerukan pentingnya investasi lebih besar pada berbagai aktivitas yang mencegah kejadian putus sekolah.
Sebagai mitra Save The Children, Yayasan Sayangi Tunas Cilik juga melakukan riset pemetaan anak-anak yang tereksklusi karena berbagai penyebab yang sangat erat hubungannya dengan kemiskinan dan putus sekolah.
Pemetaan ini akan memberikan konteks dan landasan untuk merancang kebijakan yang tepat sehingga Indonesia dapat berkontribusi untuk pencapaian sustainable development goals (SDGs) pada 2030 mendatang.
SDGs sendiri merupakan komitmen tegas yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam mengakhiri kemiskinan dan segala bentuknya pada 2030 sekaligus melindungi bumi untuk generasi mendatang.