Keranjingan Belanja karena Merasa Bahagia? Bisa Jadi Anda Mengalami Gangguan Kejiwaan
Ada sebagian orang belanja bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup. Tapi lebih dari itu, yakni bersenang-senang.
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM - Ada sebagian orang belanja bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup. Tapi lebih dari itu, yakni bersenang-senang.
Belanja bagi mereka dapat memberikan efek perasaan bahagia. Hal ini juga telah diteliti dalam berbagai penelitian.
Satu di antaranya adalah studi yang diterbitkan oleh Journal of Consumer Research pada Juni 2013.
Disebutkan, ketika berbicara mengenai aktivitas belanja (shopping), menginginkan suatu barang membuat orang lebih bahagia daripada memilikinya.
Dilansir CNN, para peneliti menganalisa status emosional konsumen sebelum dan sesudah membuat keputusan pembelian.
Baca: Mengatasi Depresi Pascapersalinan
Kebanyakan orang, terutama yang dirinya teridentifikasi sebagai meterialis, memandang sebuah pembelian yang akan dilakukan masa depan sebagai sesuatu yang kuat dan memiliki emosi positif.
Mereka merasakan kebahagiaan, ketertarikan, optimisme, dan kedamaian ketika memikirkan pembelian mereka di masa depan atau setidaknya ketika merencanakan pembelian.
Ini juga diyakini meningkatkan kualitas hubungan, kepercayaan diri, hingga memberikan kepuasan lebih.
Namun bagaimana jika pembelian tersebut didasari atas perilaku yang impulsif?
Psikolog klinis, Dra Ratih Ibrahim, MM menjelaskan, berbelanja impulsif seringkali dilakukan tanpa didasari logika berpikir, melainkan hanya mengikuti dorongan hati.
Belanja barang yang diinginkan atau dibutuhkan mungkin bukanlah masalah. Sebab bagi sebagian orang, belanja juga bisa menjadi pelepas stres.
Baca: Gatal-gatal dan Ruam Bisa Dipicu karena Stres
Tapi, perilaku tersebut bisa menjadi sebuah gangguan kejiwaan jika dibiarkan berlarut.
"Pada saat itu tidak mengganggu ranah hidup dia yang lain, enggak apa-apa. Tapi pada saat mengganggu ranah hidup dia yang lain, seperti sampai terlibat utang, sampai bohong, nyolong, nah kita akan bilang itu sebagai gangguan."
Demikian diungkapkan Ratih saat dihubungi Kompas Lifestyle, Senin (22/6/2020).
Ketika seseorang memiliki perilaku berbelanja impulsif, artinya orang tersebut memiliki kontrol diri yang lemah.
Mereka seolah terhipnotis ketika melihat barang yang mereka senangi dan tidak bisa mengontrol dirinya untuk terus membeli barang tersebut.
Jika kamu mengalami hal serupa, maka kebiasaanmu itu perlu ditelaah lebih lanjut.
Membedakan yang wajar
Bagaimana membedakan perilaku berbelanja impulsif dengan keinginan membeli barang yang masih dalam tahap wajar?
Menurut Ratih, perilaku berbelanja impulsif sudah masuk kategori gangguan jika memiliki pola yang berulang, intens dan orang yang bersangkutan sudah merasa addicted alias kecanduan.
"Bukan melulu perilaku berbelanja banyak banget, ya. Enggak tahunya dia punya bisnis, kan itu lain. Kalau dia sudah kehilangan fungai kendali atas dirinya, nah itu berarti ada yang terganggu di situ," ucap CEO & Founder lembaga psikologi Personal Growth ini.
Bagaimana agar kita bisa mengelola kontrol diri tersebut?
1. Menunda keinginan
Pada saat kamu berpikir untuk membeli sesuatu, cobalah untuk menahannya. Sebab menahan artinya menunda dorongan.
Ketika menunda, otak logika akan berfungsi dan menimbang-nimbang tentang baik-buruk membeli barang yang kita inginkan tersebut.
Agar lebih sederhana, cobalah menahan diri sebanyak 10 hitungan.
Jika sudah melakukannya namun masih menginginkan barang tersebut, cobalah tambah 10 hitungan lagi hingga 10 kali atau 100 hitungan.
"Kalau sudah sampai 10 kali terus masih ingin, itu dasar-dasar berpikir logisnya sudah berfungsi. Jadi kita enggak kalap kayak yang sebelumnya," kata Ratih.
2. Diet medsos
Media sosial ternyata juga bisa memengaruhi perilaku berbelanja impulsif. Jika kamu mengalaminya, cobalah jeda sejenak dari kebiasaan mengakses media sosial.
Jika kamu terbiasa berbelanja online, cobalah untuk menghapus aplikasi e-commerce tersebut dari ponselmu dan tidak mengaksesnya selama beberapa waktu.
Sambil jeda sejenak dari media sosial, kamu bisa mendistraksi perhatianmu dengan melakukan aktivitas produktif lainnya.
"Bisa lihat yang lain atau melakukan aktivitas lain yang lebih produkti, misal masak-masak," ungkapnya.
3. Dibantu orang sekitar
Peran orang sekitar, seperti keluarga, teman dan pasangan juga sangat besar untuk membantu seseorang keluar dari perilaku berbelanja impuslifnya.
Beberapa hal yang bisa dilakukan misalnya menyembunyikan kartu kredit yang biasa digunakan berbelanja atau membantu mengalihkan pikiran ketika godaan keinginan berbelanja muncul.
"Lingkungan bisa berperan. Mudah-mudahan dengan mengingatkan, yang bersangkutan belum jatuh pada adiksi. Sebab kalau sudah adiksi repot banget," ucap Ratih.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Tak Bisa Tahan Godaan Belanja? Waspada Gangguan Kejiwaan