Greenpeace Indonesia: Plastik Berbahan PET Dapat Didaur Ulang, Tapi Belum Tentu Ramah Lingkungan
Salah satu yang harus menjadi perhatian, apakah sampah plastik tersebut sudah benar-benar terserap ke industri daur ulang.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi menilai klaim ramah lingkungan produk galon sekali pakai yang beredar di pasaran hanyalah sebuah gimmick.
Atha menilai yang dilakukan adalah green washing artinya pencitraan bahwa mereka mengeluarkan produk ramah lingkungan.
Saat bincang-bincang bersama Aliansi Zero Waste Indonesia, baru baru ini, Atha melihat metode kampanye yang dilakukan produsen air minum kemasan galon sekali pakai adalah trik umum yang sering digunakan industri dalam memasarkan produk.
"Produsen membangun pesan bahwa produk tersebut aman dan ramah lingkungan. Tapi harus didalami dulu, apa yang dimaksud dengan ramah lingkungan?” kata Atha dalam keterangan pers tertulis, Jumat (27/11/2020).
Baca juga: Puji Peran Pemulung dalam Kelola Sampah Plastik, DPR Minta Pemda Berikan Status Tenaga Harian Lepas
Ia menjelaskan, dilihat dari materialnya menggunakan plastik sekali pakai yang memang berbeda dengan material yang digunakan pada galon guna ulang.
“Untuk galon guna ulang memang menggunakan material yang berbeda dan didesain dapat digunakan berulang-ulang sehingga usia pakai jauh lebih panjang,” jelas Atha.
Baca juga: Koleksi Pakaian Anak Ini Dibuat dari Bahan Daur Ulang Botol Plastik Bekas
Meskipun menggunakan plastik jenis PET yang dapat di daur ulang, namun Atha menegaskan bukan berarti produk tersebut dapat diklaim ramah lingkungan.
Salah satu yang harus menjadi perhatian adalah apakah galon sekali pakai tersebut sudah benar-benar terserap ke industri daur ulang.
Sebagaimana diketahui, hingga saat ini pengelolaan sampah di Indonesia belum berbasis pemilahan.
Dalam mengumpulkan dan memilah sampah plastik, sebagian besar masih harus mengandalkan sektor informal seperti pemulung.
“Jadi, persoalan galon ini, untuk bisa terserap, apakah harus dikumpulkan pemulung atau masyarakat secara aktif datang ke bank sampah terdekat? Tapi adakah yang mau menumpuk dulu galon sekali pakai baru kemudian disetorkan ke bank sampah?” imbuh Atha.
Belum lagi jumlah dan sebaran pemulung di Indonesia sangat tidak merata.
Atha mengingatkan industri untuk lebih berhati-hati dalam klaim produk.
“Harus ada tanggung jawab dari produsen atas kemasan dari produk yang dihasilkan yang tidak bisa terurai oleh alam.
Ketika produsen mengenalkan produk baru, seharusnya mereka sudah menyiapkan skema take back dengan kapasitas yang harusnya sama dengan produk yg dikeluarkan,” ujarnya.