Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Lifestyle

Sosiolog UNAIR : Orang Miskin Bukan karena Malas Kerja

Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si mengatakan, miskin dan malas tidak berhubungan

Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
zoom-in Sosiolog UNAIR : Orang Miskin Bukan karena Malas Kerja
Tribunnews/Jeprima
Aktivitas warga di permukiman padat penduduk di kawasan Kebon Melati, Jakarta Pusat, Kamis (26/8/2021). Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan kenaikan jumlah penduduk miskin di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Dikutip dari data BPS, Senin (16/8/2021), jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Secara persentase jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 10,14 persen. Angka itu turun 0,05 persen dibandingkan September 2020 yang sebesar 10,19 persen atau tercatat 27,55 juta penduduk miskin. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sering dikaitkan orang yang malas bekerja hidupnya akan jadi lebih sulit.

Benarkah kemiskininan akibat malas berkerja?

 Ilmu Sosiologi membagi dua pandangan sebab kemiskinan.

Pertama, kemiskinan dianggap bersumber dari hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik psikologis kultural individu.

Baca juga: Erick Thohir: Pandemi Covid-19 Bikin yang Kaya Makin Kaya, yang Miskin Makin Miskin

Contohnya malas atau tidak punya etos wirausaha. 

Kedua, kemiskinan muncul dari faktor-faktor struktural.

Aktivitas warga di permukiman padat penduduk di kawasan Kebon Melati, Jakarta Pusat, Kamis (26/8/2021). Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan kenaikan jumlah penduduk miskin di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Dikutip dari data BPS, Senin (16/8/2021), jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Secara persentase jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 10,14 persen. Angka itu turun 0,05 persen dibandingkan September 2020 yang sebesar 10,19 persen atau tercatat 27,55 juta penduduk miskin. Tribunnews/Jeprima
Aktivitas warga di permukiman padat penduduk di kawasan Kebon Melati, Jakarta Pusat, Kamis (26/8/2021). Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan kenaikan jumlah penduduk miskin di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Dikutip dari data BPS, Senin (16/8/2021), jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Secara persentase jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 10,14 persen. Angka itu turun 0,05 persen dibandingkan September 2020 yang sebesar 10,19 persen atau tercatat 27,55 juta penduduk miskin. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/Jeprima)
Berita Rekomendasi

Seperti kurangnya kesempatan dan kompetisi yang terlalu ketat atau tidak memiliki modal usaha. 

Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., M.Si mengatakan, miskin dan malas tidak berhubungan.

Baca juga: Vaksinasi Covid lambat di negara-negara miskin, WHO peringatkan pandemi akan berlanjut hingga 2022

Pasalnya, kemiskinan terjadi karena faktor-faktor yang sifatnya struktural dari pada kultural.

“Kita terbiasa menghakimi orang yang miskin sebagai orang yang malas atau tidak mau bekerja keras. Padahal, jika kita lihat pengemis di pinggir jalan, panas-panas, pakai pakaian badut menari-nari. Itu kan pekerjaan yang berat sebetulnya,” tutur Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR seperti dikutip dari laman Unair (24/10/2021). 

Jika dibandingkan, pekerjaan di sektor informal bahkan lebih keras daripada pekerjaan kelas menengah.

Namun karena ketidakmampuan pendidikan ditambah minimnya akses jaringan memaksa kaum miskin untuk bertahan.

Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia pada 2019 lalu mengungkap, anak-anak dari keluarga miskin, ketika dewasa akan tetap miskin.

Hal itu, jelas Prof Bagong menunjukkan bahwa mata rantai kemiskinan memang sulit diputus. 

“Karena keluarga miskin tidak memiliki modal ekonomi yang cukup dan tidak sekolah dengan baik, ujung-ujungnya dia kembali miskin. Peluang mereka untuk naik kelas tidak bisa ditembus karena tidak punya modal sosial dan ekonomi yang cukup,” paparnya. 

Dekan FISIP UNAIR itu juga menyampaikan, selain faktor struktural yang tidak ramah, kebijakan pemerintah bersifat meritokrasi.

Di mana belum berpihak untuk melindungi si miskin. 

Seperti yang terjadi di Kota Bontang.

Pemda melarang waralaba seperti Indomaret dan Alfamart masuk.

Hasilnya, usaha-usaha kecil dari masyarakat setempat tumbuh. 

“Kebijakan meritokrasi itu intinya orang miskin diberi bantuan, soal bagaimana mereka bertahan hidup menghadapi struktur yang kompetitif terserah pada semangatnya orang miskin,” imbuhnya.

Prof Bagong menjelaskan, kemunculan istilah miskin sendiri berkaitan erat dengan stratifikasi (Pengelompokkan anggota masyarakat secara vertikal, Red) dan kesadaran kelas. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas