Psikolog Anak: Belajar Jangan Terlalu Serius dan Kaku, Sebaiknya Bangun Suasana Menyenangkan
Salah satu tantangan terbesar orang tua dan guru dalam hal mendidik anak adalah memastikan anak tetap termotivasi belajar.
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Salah satu tantangan terbesar orang tua dan guru dalam hal mendidik anak adalah memastikan anak tetap termotivasi dan mampu memahami materi yang sedang diajarkan.
Semenjak pandemi, tantangan ini menjadi semakin berat karena proses belajar mengajar yang kehilangan sebagian unsur sosialnya.
Sebuah survei yang dilakukan oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) tahun lalu menunjukkan bahwa sekitar 76,7% siswa mengaku tidak senang dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), dan 81,8% mengaku proses tersebut menekankan pada pemberian tugas, bukan pada diskusi.
Baca juga: Kemensos: Kondisi Psikologis Anak Panti Asuhan Korban Persekusi Semakin Membaik
Baca juga: Kementerian Kesehatan Upayakan Tambahan Stok Sinovac untuk Vaksinasi Anak 6-11 Tahun
Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada Jurnal Studi Guru dan Pembelajaran Agustus 2021 lalu juga menjelaskan bahwa dalam implementasi PJJ yang sukses banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti waktu pembelajaran yang fleksibel, presentasi guru yang terbatas interaksinya dan monoton, dan kebingungan siswa atas sistem PJJ yang kian berubah.
Beberapa hal ini akan berpengaruh pada menurunnya motivasi belajar siswa, dan pada akhirnya menyebabkan learning loss atau gagal terbentuknya pengetahuan/pembelajaran baru.
Psikolog anak dan remaja dari PION Clinician, Katarina Ira Puspita mengatakan, di masa pandemi ini sistem pembelajaran jarak jauh punya struktur yang kurang jelas dibandingkan di kelas formal.
“Tidak semua keluarga punya area belajar khusus, sehingga anak bisa belajar di mana saja dan sulit menghindari distraksi dari lingkungan sekitar. Hal ini akan mempengaruhi fokus dan konsentrasi serta performa belajar anak,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (7/12/2021).
Dikatakannya, absennya elemen sosial membuat proses belajar menjadi kurang menyenangkan.
Baca juga: Psikolog: Anak Indonesia Lebih Kenal Superhero Asing Ketimbang Pahlawan Nasional
"Anak sulit untuk bertanya langsung jika ada hal yang kurang dipahami, karena tidak semua orangtua bisa mendampingi.
Sekolah seringkali jadi identik dengan tugas sehingga anak lebih jenuh dan tidak termotivasi,” katanya.
Founder dan Chief Education Officer Zenius, Sabda PS sepakat dengan pendapat Katarina.
Menurut Sabda, belajar untuk mencapai target orang tua atau sekolah memang tidak salah, namun motivasi eksternal seperti itu akan lekas menguap begitu target tersebut tercapai.
"Sehingga, dibutuhkan pengalaman yang memicu emosi positif agar materi mudah dipahami selama mungkin,” katanya.
Sehingga orang tua dan guru perlu menciptakan suasana menyenangkan dan membangun emosi positif anak dalam hal belajar yang bisa dilakukan dengan memvariasikan kegiatan dalam proses belajar setiap harinya seperti menyelingi penjelasan materi dengan kegiatan.
Selain itu, berilah anak kesempatan untuk memilih pelajarannya agar mereka semakin semangat.
"Upayakan agar anak bisa praktek langsung dengan memberikan project yang memicu kreativitasnya. Terakhir, penggunaan media interaktif seperti video atau permainan seperti ZeniusLand bisa membuat anak lebih senang dan mau terlibat dalam proses pembelajaran,” paparnya.
Beberapa hal tersebut menjadi alasan ZeniusLand untuk fokus menumbuhkan motivasi internal anak dalam belajar.
Materi yang disajikan tidak monoton, melainkan berupa video interaktif yang disajikan dalam bentuk cerita, dan menunjukkan aplikasi nyata berbagai materi pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penjelasan konsep pelajaran juga dipandu oleh karakter virtual menggemaskan bernama Gika, Aksa, dan Maji dengan cara yang mudah dimengerti anak-anak.