Ini Hal yang Harus Dilakukan Keluarga untuk Bantu Korban Kekerasan Seksual
Korban kejahatan seksual harus segera mendapatkan bantuan konseling oleh profesional. Keluarga bisa lakukan hal ini.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Psikolog sekaligus Dosen Fakultas Psikologi (FPSi) Universitas Airlangga (UNAIR) Margaretha Rehulina, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc., mengatakan, korban kejahatan seksual harus segera mendapatkan bantuan konseling oleh profesional.
Bisa melalui psikolog atau psikiater, jika dibutuhkan. Tujuannya adalah membuat korban menjadi kuat dan melanjutkan hidupnya kembali.
Baca juga: KPAI: 207 Anak jadi Korban Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Selama 2021
Baca juga: Orang Terdekat Alami Kekerasan Seksual, Perlukah Balas Dendam pada Pelaku? Ini Kata Psikolog
Pasalnya, luka yang timbul akibat kejahatan seksual adalah bentuk stres besar dalam hidup atau yang disebut trauma. Kondisi itu tidak dapat diremehkan.
“Keluarga atau lingkungan masyarakat sangat penting untuk membantu korban. Misalnya bantuan mengakses layanan konseling agar korban dapat melanjutkan hidupnya kembali,” katanya.
Mempercayai Korban
Berbicara mengenai kesehatan mental korban kejahatan seksual, fakta yang terjadi cukup miris.
Orang terdekat seringkali tidak percaya pada cerita korban.
“Jika masih terlalu kecil, dianggap ah anak-anak membuat fantasi mungkin. Atau ketika dia sudah besar dianggap berbohong. Nah ini yang Justru malah menumpulkan keinginan korban untuk mencari bantuan. Akhirnya si korban akan tambah terpuruk dengan luka kejahatan seksual,” ucap dosen yang kerap disapa Retha itu.
Beri Waktu Ekspresikan Emosi
Tahapan berikutnya adalah memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengekspresikan emosinya.
Perlu dipahami, berbagai emosi dapat muncul secara alamiah ketika tubuh dijarah oleh seseorang. Bisa merasa marah, sedih, menangis, malu, bisa juga diam. Itu terjadi baik pada orang dewasa, anak kecil, maupun pada laki-laki.
“Nah ini jangan dipaksa untuk dikendalikan emosinya. Saya pernah lihat ada orang menangis dibilang jangan menangis kamu harus kuat. Atau sudah, bangkit, jangan ingat masa lalu,” terangnya.
Retha menyampaikan, kondisi itu berbeda pada setiap orang. Ada beberapa orang yang butuh waktu lebih lama untuk memproses emosinya.