Produk Fesyen Indonesia Sudah Pasti Diterima Mancanegara, Tapi Masih Ada Kendala
National Chairman Indonesian Fashion Chamber, Ali Charisma menyebut, produk fesyen Indonesia sudah pasti bisa diterima mancanegara.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Produk fesyen Indonesia sudah pasti bisa diterima mancanegara.
Hal ini diungkapkan oleh National Chairman Indonesian Fashion Chamber, Ali Charisma.
"Saya pikir sudah pasti diterima. Tapi tergantung cara kita menyampaikan produk Indonesia ke dunia itu seperti apa," ungkapnya saat diwawancarai Tribunnews di Jakarta Selatan, Rabu (21/9/2022).
Indonesia sendiri, kata Ali sudah mempunyai identitas yang cukup kuat. Dan lama kelamaan bisa menarik para pelaku industri fesyen di dunia.
Meski beberapa tahun terakhir fast fesyen masih menjadi tren. Justru, Indonesia yang menawarkan slow fesyen menurut Ali punya nilai tersendiri.
"Pembuatan tekstil masih banyak manual, itu tujuannya juga pengen memberikan warna baru. Karena mereka pun sebentar lagi tidak akan berkutat di area fast fashion itu aja. Mereka juga akan melirik fesyen lain. Karena fesyen perubahan gaya hidup yang tidak diam," papar Ali.
Menurutnya, strategi yang dilakukan oleh para desiner fesyen Indonesia saat ini sudah benar.
Dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk segera menunjukkan fesyen Indonesia melalui kekayaan warisan budaya.
"Indonesia bisa 10 kali lipat potensinya dibandingkan negara Asia lainnya. Budaya kain (Indonesia) tidak seberagam negara lain seperti Vietnam Kamboja, Singapura, Malaysia dan sebagainya," kata Ali lagi.
Ali pun yakin jika fesyen tanah air menunjukkan kain khas Indonesia, maka akan menjadi daya tarik yang besar bagi mancanegara.
Baca juga: Rambah Eropa, IFC Gelar Front Row Paris 2022, Gandeng 17 Desainer Lokal
Hanya saja, Indonesia masih punya beberapa pekerjaan rumah. Di antaranya seperti mempromosikan produk karya, juga butuh persiapan produksi.
"Kita biasanya kendalanya di situ. Produknya bagus, tapi produksi tidak bisa berlangsung karena terkendala dengan teknis," kata Ali menambahkan.
Bagi Eropa dan Amerika, Ali mengatakan waktu yang dimiliki cukup terbatas dalam hal produksi.
Di sisi lain, perlu ada waktu untuk pemasaran dan hal lain yang harus dipersiapkan sebelum masuk retail.
"Jadi waktunya enam bulan, tapi produksi itu tidak bisa melebih dua bulan setengah, paling maksimum. Memang gak banyak waktu. Indonesia belum terbiasa dengan eksositem seperti ini," pungkasnya.