Tanda-Tanda Munculnya Resesi Seks di Indonesia, Berikut Penjelasan, Penyebab, dan Dampaknya
Potensi terjadinya resesi seks di Indonesia itu terlihat dari tanda-tanda dan gejala yang terjadi di masyarakat. Apa saja? Apa penyebab dan dampaknya?
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Tanda-Tanda Munculnya Resesi Seks di Indonesia, Berikut Penjelasan, Penyebab, dan Dampaknya
TRIBUNNEWS.COM – Indonesia disebut memiliki gejala dan tanda-tanda terjadinya resesi seks.
Fenomena resesi seks dilaporkan sudah terjadi di China, Jepang, dan Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir.
Potensi terjadinya resesi seks di Indonesia itu terlihat dari tanda-tanda seperti yang dipaparkan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo.
Baca juga: Tingkat Perceraian di Indonesia Naik Drastis Lebih 500 Ribu Tiap Tahun
Usia Pernikahan Penduduk Kian Tinggi
Gejala resesi seks di Indonesia menurut Hasto terlihat dari usia pernikahan penduduk Indonesia yang semakin tinggi.
Jika sebelumnya mayoritas pernikahan terjadi pada pasangan usia muda, kini trennya banyak pasangan yang menunda pernikahan.
"Potensi itu (resesi seks Indonesia) ada, ada ya, tapi sangat panjang, karena kan gini usia pernikahan semakin lama kan semakin meningkat. (Ini bicara ) pernikahan loh bukan seks," kata Hasto dikutip dari Kompas.com (12/12/2022).
Penyebab usia pernikahan mundur menurutnya karena semakin menempuh studi, karier dan sebagainya.
Fenomena itu, kata Hasto, banyak terjadi di kota-kota besar.
Selain usia pasangan menikah yang semakin mundur, tren keluarga kecil dengan jumlah anak sedikit juga sedang terjadi.
Apa Itu Resesi Seks?
Dikutip dari laman The Atlantic, istilah resesi seks ini bermula dari sebuah tulisan Kate Julian yang muncul dalam cerita sampul The Atlantic bulan Desember.
Saat itu Kate menyebut, resesi seks terjadi karena remaja dan kalangan dewasa muda di Amerika Serikat melakukan lebih sedikit seks dibandingkan generasi sebelumnya.
Meski demikian, apa yang dimaksud Kate dalam tulisan tersebut merujuk pada kebiasaan seks yang dilakukan oleh orang Amerika Serikat yang cenderung memiliki toleransi besar melakukan seks sebelum menikah.
Berdasarkan survei perilaku risiko remaja yang dilakukan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS menemukan, jumlah siswa sekolah yang pernah melakukan hubungan seksual turun dari 54 menjadi 40 persen.
Dengan kata lain, seks telah berubah, dari yang sebelumnya dialami oleh sebagian besar siswa sekolah menengah Amerika Serikat, menjadi sesuatu yang belum pernah dialami.
Selain itu, ini berarti tingkat kehamilan remaja AS anjlok menjadi sepertiga dari level sebelumnya.
“Dewasa muda saat ini berada di jalur yang tepat untuk memiliki lebih sedikit pasangan seks dibandingkan dua generasi sebelumnya,” ujar Profesor Psikologi San Diego State University Jean M. Twenge dalam tulisan Kate.
Menurutnya, orang-orang yang kini berusia 20-an, 15 persennya tak berhubungan seks meskipun mereka sudah mencapai usia dewasa.
Ia juga mengatakan dari akhir 1990-an hingga 2014, berdasarkan hasil survei sosial umum rata-rata orang dewasa beralih dari berhubungan seks 62 kali setahun menurun menjadi 54 kali dalam setahun.
Sementara survei terbaru tahun 2016 menurutnya jumlah tersebut turun lebih tajam.
Penyebab Resesi Seks
Kate dalam tulisan tersebut juga menyampaikan berdasarkan penelitiannya, dirinya menilai resesi seks ini mungkin diakibatkan oleh konsekuensi dari budaya hookup, tekanan ekonomi, tingkat kecemasan yang tinggi, kelemahaan psikologis, penggunaan antidepresan yang meluas.
Selain itu juga diakibatkan oleh televisi streaming, faktor lingkungan, penurunan testosteron, porno digital, maraknya vibrator, aplikasi kecan, pertimbangan karier, smartphone, adanya informasi yang berlebihan, serta mulai munculnya orientasi seksual yang beragam.
“Mungkin lebih banyak orang memprioritaskan sekolah atau pekerjaan daripada cinta dan seks, setidaknya untuk sementara waktu, atau mungkin mereka hanya menjadi selektif dalam memilih pasangan hidup. Jika demikian, ini baik untuk mereka,” ujar Kate dalam tulisannya.
Beban dan Tanggung Jawab
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono menjelaskan, resesi seks di Indonesia dapat terjadi apabila generasi muda saat ini atau yang akan datang memilih hidup sendiri.
Ia menjelaskan, keinginan untuk hidup seorang diri muncul karena orang merasa tidak dibebani dengan tanggung jawab pada pasangan bahkan anak.
Keengganan generasi muda di Indonesia untuk menikah juga dikatakan Drajat terlihat dalam riset yang dilakukannya tentang perempuan otonom.
Perempuan otonom berusia 26-30 tahun yang diwawancara Drajat memilih untuk tidak menikah karena lebih mengutamakan profesi.
Mereka juga enggan untuk berumah tangga dengan alasan melanjutkan studi dan ingin mengatur ekonomi dan hidupnya sendiri.
"Kemudian, mereka (orang tidak menikah) bisa mengelola waktu yang dimiliki, jadi kalau capek ya tidur dan tidak ada yang mengganggu," jelas Drajat.
Drajat juga menyampaikan, keenganan generasi muda menikah karena mereka tidak mau terlibat dalam pertengkaran dalam keluarga.
Menurutnya, konflik dalam rumah tangga dikhawatirkan oleh generasi muda karena dapat mengacaukan pekerjaan dan mengganggu mental selama berhari-hari.
"Keuntungan secara emosional tidak sebanding dengan itu (pertengkaran) sehingga keluarga itu dianggap tidak terlalu menguntungkan," jelasnya.
Dampak Resesi Seks
Drajat menyebutkan dampak yang terjadi apabila Indonesia alami resesi seks. Salah satunya resesi seks akan menyebabkan jumlah keluarga berkurang.
Berkurangnya jumlah keluarga pada gilirannya berisiko menyebabkan jumlah kelahiran anak menjadi menurun.
Selanjutnya, turunnya angka kelahiran menyebabkan beban populasi produktif selama 5-10 tahun mendatang menjadi semakin besar.
"Ini artinya orang-orang yang produktif akan menanggung (beban) karena yang bekerja tidak banyak," kata Drajat kepada Kompas.com, Sabtu (10/11/2022).
Dampak lain yang ditimbulkan akibat resesi seks adalah lesunya ekonomi.
Drajat mengatakan, menurunnya jumlah keluarga otomatis dibarengi juga dengan berkurangnya keinginan untuk membeli rumah atau kebutuhan rumah tangga.
Rendahnya anak kelahiran, menurut Drajat, juga menimbulkan penurunan ekonomi karena semakin banyak orang tidak lagi membeli barang-barang kebutuhan anak.
"Itu 'kan kebutuhan besar untuk memutar ekonomi masyarakat," katanya.
(Nur Rohmi Aida/Rizal Setyo Nugroho/Kompascom)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Apa Itu Resesi Seks yang Berpotensi Dialami Indonesia, Penyebab, dan Dampaknya?"