'Toxic People' Jadi Biang Kerok Orang Batal Menikah dan Kasus Cerai Meningkat
Fenomena 'Toxic People' menjadi perhatian serius sebab kini sudah mempengaruhi penurunan angka pernikahan dan meningkatnya perceraian di Indonesia.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fenomena 'Toxic People' menjadi perhatian serius sebab kini sudah mempengaruhi penurunan angka pernikahan dan meningkatnya perceraian di Indonesia.
Namun kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional(BKKBN), Hasto Wardoyo persoalan tersebut belum terpetakan dengan baik dan belum ada penelitian ilmiahnya.
Baca juga: Cassandra Lee Terjebak dalam Hubungan Asmara Toxic dengan Jeff Smith
"Toxic people faktor yang belum terpetakan dengan baik tapi mempengaruhi parenting menjadi tidak bagus, perceraian meningkat, angka pernikahan menurun," kata Hasto saat 'Media Gathering' bertajuk 'Strategi Indonesia Turunkan Stunting' di Yogyakarta, Jumat(8/3/2024).
'Toxic People' kata Hasto memang memiliki sikap yang menyebalkan dan membuat situasi jadi kacau.
Mereka pun tidak bisa memahami orang lain karena tidak bisa berempati, selalu mengkritik dan tidak mau mengalah.
Baca juga: Sepanggung Lagi Setelah Denny Caknan Menikah, Happy Asmara Akui Tak Canggung
"Orang toxic ketemu orang waras saja enggak jadi menikah. Jadi toxic relationship dan toxic friendship membuat pernikahan gagal," ujarnya.
Hasto juga menjelaskan 'Toxic People' berkaitan dengan kejiwaan seseorang dan membuat tingkat perceraian tinggi di Indonesia.
Jumlah kasus perceraian sepanjang tahun 2019-2023 dimana tahun 2022 menjadi yang tertinggi di atas 500 ribu per tahun.
Kemudian ada penurunan di tahun 2023 sebanyak 10 persen.
"Ini masih jauh angkanya 450 ribu hampir 480 ribu ini masih terlalu banyak," ujar Hasto.
Pola parenting lanjut Hasto juga dipengaruhi masalah mental disorders. Sehingga efeknya melebar kemana-mana bahkan bisa memicu terjadinya stunting.
Dimana pada tahun 2013 angkanya yakni diantara banyak orang dengan latar belakang pekerjaan berbeda tiap 100 orang ada enam yang error atau mengalami mental disorders.
"Lalu meningkat di tahun 2019 angkanya menjadi 9,8," ujar Hasto.(WILLY Widianto)