Pakar Hukum Sebut Sistem Proporsional Terbuka di Pemilu Memicu Politik Uang dan Korupsi
Sistem Pemilu 2024, antara proporsional terbuka atau tertutup, menjadi perdebatan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sistem Pemilu 2024, antara proporsional terbuka atau tertutup, menjadi perdebatan.
Sebagian kalangan menyatakan sistem proporsional tertutup dengan mencoblos partai lebih simpel dan murah tetapi sebagian lainnya tetap menginginkan sistem proporsional terbuka agar diterapkan.
“Konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem Pemilu apa yang harus diterapkan. Jadi pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka. Kedua sistem itu pun pernah diterapkan di Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (Pushan) Dr. Oce Madril saat dihubungi, Rabu (4/1/2023).
Meski demikian, dia mengingatkan ada implikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut.
Misalnya sistem proporsional terbuka dengan mencoblos caleg menitikberatkan pada individu, sehingga setiap caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak.
Baca juga: Respons Ketua KPU Soal Wacana Sistem Proporsional Tertutup: Kita Hanya Pelaksana Saja
Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi (high cost politics). Banyak riset telah dilakukan yang menyimpulkan rata-rata pengeluaran caleg DPR mencapai angka Rp 4 miliar dan bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp 20 miliar.
Di tingkat DPRD biayanya juga gila-gilaan hanya untuk berebut satu kursi.
Oce Madril menambahkan biaya tinggi yang harus dikeluarkan caleg tersebut untuk membiayai berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya.
Para caleg akan bertarung dengan caleg dari partai lain dan bahkan akan gontok-gontokan dengan caleg dalam satu partai. Selain berbiaya tinggi, juga memicu konflik.
“Oleh karena orientasinya adalah meraih suara sebanyak-banyaknya, maka berbagai intrik dilakukan termasuk melakukan praktik politik uang. Maka banyak riset menyatakan bahwa politik uang di Indonesia sangatlah tinggi,” lanjut Oce Madril yang juga merupakan pegiat antikorupsi.
Pemilu yang berbiaya mahal berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi di sebuah negara.
Rumusnya sederhana, karena modal yang harus dikeluarkan caleg sangat mahal, maka ketika terpilih rentan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal biaya pemilu dan menyiapkan modal baru agar dapat terpilih di pemilu berikutnya.
Persoalan turunan yang ditimbulkan oleh sistem pemilu berbiaya mahal ini telah dirasakan selama ini dan hingga saat ini, persoalannya semakin akut, korupsi politik, dan politik uang semakin merongrong institusi demokrasi.
“Sementara sistem proporsional tertutup menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik. Oleh karena itu, apabila nanti Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa sistem proporsional tertutup (mencoblos partai) kembali diterapkan, maka partai-partai harus memberikan jaminan bahwa rekrutmen caleg dilakukan berdasarkan merit system dengan mengajukan kader-kader berkualitas, tidak hanya berdasarkan popularitas semata,” tutup Oce Madril.