Plus Minus Sistem Pemilu Proporsional Tertutup dan Pemilu Proporsional Terbuka Menurut Analis
Analis Politik Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengungkapkan kelemahan sistem Pemilu proporsional tertutup dan terbuka.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah partai menyatakan sikap menolak wacana sistem Pemilu proporsional tertutup pada 2024 nanti.
Analis Politik sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengungkapkan sejumlah poin kelemahan dari Pemilu sistem proporsional terbuka dan Pemilu sistem proporsional tertutup.
Menurut Pangi, munculnya keinginan kembali ke desain sistem Pemilu proporsional tertutup merupakan koreksi dan kritik terhadap penyelenggaraan sistem proporsional terbuka selama ini.
Ia mengatakan, kompleksitas dan realitas sistem Pemilu proporsional terbuka memang terkesan “melemahkan” partai politik.
"Sistem proporsional terbuka kekuatan ada pada 'figur' kandidat populis, melemahkan partai politik, tidak ada pembelajaran dan tidak menghormati proses kaderisasi di tubuh partai politik."
"Sementara proporsional tertutup menguatkan institusi kelembagaan partai politik. Menguatnya keinginan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup boleh jadi karena anti tesis rendahnya kualitas, kapasitas, mutu dan kompetensi 575 anggota DPR RI yang terpilih di periode sekarang," ungkapnya.
Baca juga: Perbedaan Pemilu Sistem Proporsional Terbuka dan Proporsional Tertutup yang Ditolak 8 Parpol
- Kelemahan Pemilu Sistem Proporsional Terbuka
Menurut Pangi, ada beberapa alasan mengapa sistem Pemilu proporsional terbuka dinilai merusak partai politik.
1. Calon legislatif sesama di internal partai bersaing ketat satu sama lain, manusia menjadi serigala bagi sesamanya (leviathan), saling menerkam dan saling memakan di antara internal caleg.
2. Sistem proporsional terbuka melemahkan partai politik, tidak ada caleg yang benar-benar kampanye mengunakan visi dan misi yang telah disusun partai, masing-masing caleg berkampanye dengan cara, tema dan narasinya sendiri-sendiri bagaimana berfikir untuk menang mengalahkan caleg sesama kader di internal partai.
"Bukannya berkompetisi dengan partai lain, sesama caleg kader internal partai berkontestasi dan berbenturan secara keras satu sama lain agar mendapatkan suara terbanyak di internal partainya," ungkap Pangi.
Lanjut Pangi, sistem proporsional terbuka mengesampingkan tautan platform, visi dan misi partai hanya sebagai aksesoris pajangan belaka, hanya gimik, tidak digunakan masing-masing caleg sebagai fitur kampanye, realitasnya masing-masing caleg berkampanye untuk dirinya sendiri-sendiri.
3. Sistem proporsional terbuka lebih cenderung menyebabkan pemilih memilih “figur” kandidat ketimbang tautan “partai”.
"Itu maknanya sistem proporsional terbuka lebih mengandalkan figur ketimbang menguatkan sistem kepartaian, cenderung memilih presiden ketimbang partai, senang dengan nama, maka memilih nama dan tidak memilih partai," ungkapnya.
Namun menurut Pangi hal ini tidak bisa disamaratakan.
"Kasusnya, misalnya PDIP dan PKS lebih cenderung yang menonjol pengaruh DNA partai ketimbang pengaruh kandidasi figur calonnya di dalam memutuskan pilihan politiknya, artinya party effect lebih menonjol daripada person effect," ungkapnya.
Baca juga: Tolak Proporsional Tertutup, Airlangga Tegaskan Tak Ingin Demokrasi Mundur
4. Sistem Pemilu proporsional terbuka dinilai menyebabkan alasan rendahnya party-ID.
Menurut Pangi, hanya sebesar 13.2 persen, pemilih yang merasa dekat baik secara ideologis maupun secara psikologis dengan partainya.
"Dugaan saya salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan sistem Pemilu proporsional terbuka, sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka selama itu presentase party-ID di Indonesia tetap rendah," ungkapnya.
Lanjut Pangi, Party-ID yang tinggi juga bisa menyebabkan turunnya perilaku pemilih vote buying atau money politics.
Sistem proporsional terbuka dinilai Pangi menjadi salah satu penyebab suburnya tradisi politik transaksional dan pragmatisme dalam politik.
"Oleh karena itu, sistem proporsional terbuka lebih mengandalkalkan uang, money politik tumbuh subur."
"Proporsional tertutup bisa menakan money politic atau vote buying di tengah masyarakat yang kian makin transaksional dan pragmatis, memilih karena basis alasan uangnya bukan karena basis prestasi, kinerja dan trace record calon," urainya.
5. Sistem Pemilu proporsional terbuka dinilai juga menyebabkan tingginya split ticket voting, tidak tegak lurus atau beririsan antara pilihan partai dan pilihan presiden.
"Fenomena split ticket voting adalah bentuk dari kegagalan partai politik di dalam mengelola isu dan program, kejenuhan konstituen yang kemudian menyebabkan pemilih abai terhadap keinginan partai."
"Kecenderungan pemilih lari kepada calon lain yang justru tidak diendorse oleh partainya, akibat rendahnya party-ID menyebabkan pemilih tidak taat kepada partainya," ungkap Pangi.
6. Sistem Pemilu proporsional terbuka cenderung merusak sistem meritokrasi parpol, melemahkan proses kaderisasi partai.
"Yang tadinya bukan kader partai, lalu tiba-tiba bisa nyelonong jadi caleg, dapat nomor urut cantik lagi."
"Sistem proporsional terbuka tokoh populis, artis dan publik figur mendapatkan tempat istimewa di partai (privilege), karena caleg artis dimanfaatkan sebagai vote getter mesin pengumpul suara semata oleh partai politik, bisa menjadi caleg di partai tersebut tanpa ada bukti kerja dan tanpa melalui proses kaderisasi yang matang."
Menurut Pangi, sistem Pemilu proporsional terbuka melemahkan eksistensi parpol, karena kecenderungan pemilih memilih orang atau nama ketimbang partai.
Baca juga: Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Digugat, Pengamat: Jika Dikabulkan Bisa Jadi Pembunuhan Demokrasi
- Kelemahan Pemilu Sistem Proporsional Tertutup
Pangi juga memberikan analisisnya terkait kelemahan Pemilu sistem proporsional tertutup.
1. Pemilu sistem proporsional tertutup mengurangi interaksi dan intensitas kader partai dengan pemilih.
"Caleg yang terpilih bakal jarang turun bersosialisasi, menyapa dan menyalami masyarakat secara langsung, sebab caleg yang terpilih bertanggung jawab langsung kepada partainya bukan konstituennya, sumber kekuasaan bukan daulat rakyat, tapi daulat elite parpol," ungkap Pangi.
2. Caleg cenderung tidak mau bekerja keras untuk mengkampanyekan dirinya dan partai.
"Sebab mereka percaya yang bakal dipilih adalah caleg prioritas nomor urut satu, bukan basis suara terbanyak."
"Itu artinya menurunkan persaingan antar kader internal caleg," ujarnya.
3. Sistem proporsional tertutup kurang sesuai untuk partai baru dan partai kecil yang belum terlalu dikenal.
4. Pemilu sistem proporsional tertutup belum cocok untuk partai yang populis, yang belum kuat dan belum tumbuh secara merata sistem kaderisasinya.
5. Menguatnya oligarki di internal partai politik, partai ada kemungkinan lebih mengutamakan kelompok dan golongan tertentu, kekuasaan berada di tangan segelintir orang.
6. Pemilu proporsional tertutup dikhawatirkan seperti memilih kucing dalam karung.
"Pemilih banyak yang tidak kenal dengan daftar nama calegnya, sebab pemilih tidak merasa dekat dengan pemilihnya," ungkap Pangi.
(Tribunnews.com, Gilang Putranto)