Sistem Proporsional Tertutup Dinilai Rugikan Caleg Perempuan pada Pemilu
Selama 14 tahun, sistem proporsional terbuka dinilai mampu mengurangi jarak penyampaian aspirasi masyarakat terhadap para wakilnya di DPR.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sidang lanjutan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem pemilu proporsional terbuka mengalami penundaan dengan alasan Mahkamah Konstitusi (MK) perlu melakukan beberapa persiapan untuk menggelar sidang secara luring.
Seiring dengan penundaan tersebut, kritik dan masukan masih datang dari berbagai pihak.
Sistem proporsional terbuka sudah diterapkan sejak Pemilu 2009 lalu.
Selama 14 tahun, sistem proporsional terbuka dinilai mampu mengurangi jarak penyampaian aspirasi masyarakat terhadap para wakilnya di DPR.
Sehingga sistem proporsional tertutup dianggap sebagai kemunduran demokrasi.
Perempuan Bangsa menilai sistem proporsional tertutup mereduksi penerapan affirmative action terhadap perempuan dalam politik dan pemilu yang selama ini telah berlangsung.
“Keterwakilan perempuan dalam politik maupun pemilu terus meningkat, bila sistem proporsional tertutup kembali diterapkan sudah pasti akan merugikan calon anggota legislatif (caleg) perempuan,” kata Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa, Siti Mukaromah, dalam keterangannya pada Senin (23/1/2023).
Baca juga: Wakil Ketua Komisi II DPR RI Jelaskan 5 Parameter Jika Sistem Proporsional Tertutup Ingin Diterapkan
Berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI (KPU, 2019).
Walaupun masih belum mencapai target keterwakilan 30 persen perempuan, namun persentase ini meningkat pesat dari Pemilu RI pertama yang persentase perempuannya hanya 5,88 persen.
Lebih lanjut, Erma yang juga Anggota Komisi VI DPR RI ini menjelaskan, bahwa dengan adanya sistem proporsional terbuka caleg perempuan yang ditempatkan di nomor urut berapa pun bisa dengan percaya diri berkompetisi dengan caleg lain.
Tanpa khawatir dengan nomor urut, peluang untuk terpilih lebih besar dengan sistem proporsional terbuka.
“Caleg-caleg perempuan berkualitas sangat banyak, dengan jaringan organisasi yang luas. Secara sosok, personal mumpuni. Layak untuk dipilih. Namun seringkali mereka harus berhadapan dengan budaya patriarki yang masih muncul di beberapa daerah,” kata dia menambahkan.
Erma berharap, gerakan perempuan juga massif menolak sistem proporsional tertutup sehingga proses demokrasi di Indonesia terus berjalan maju ke depan.
Bagaimanapun juga, keterwakilan perempuan dalam parlemen, mampu memberikan pengawalan terhadap isu-isu dan kebijakan yang memihak pada perempuan dan anak-anak.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.