Kenapa Hak Politik Wanita Cidera Jika PKPU 10/2023 Tidak Direvisi? Ini Penjelasannya
Jika PKPU No 10 Tahun 2023 Pasal 8 ayat (2) huruf a soal jumlah keterwakilan perempuan tak kunjung direvisi hal ini akan menciderai hak politik mereka
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jika Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 10 Tahun 2023 Pasal 8 ayat (2) huruf a soal jumlah keterwakilan perempuan tak kunjung direvisi, hal ini akan menciderai hak politik mereka.
Koalisi Masyarakat Peduli keterwakilan Perempuan yang sebelumnya telah menuntut KPU RI segera menindaklanjuti ihwal revisi PKPU tersebut punya beberapa pandangan.
Pengamat politik yang juga merupakan dari koalisi, Titi Anggraini, menyatakan PKPU No. 10 Tahun 2023 tidak hanya bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 UU No.7 Tahun 2017, namun juga tidak memberi kepastian terhadap pelaksanaan zipper system.
Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 246 (2) UU No. 7 Tahun 2017 dan penjelasannya yang menyebutkan “Di dalam setiap 3 (tiga) bakal calon perdapat paling sedikit 1 (satu) orang perempuan”.
“Selanjutnya penjelasan pasal a quo menegaskan dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6 dan seterusnya,” ujar Titi dalam keterangannya, Senin (15/5/2023).
Baca juga: PKPU 10/2023 Berangus Pencalonan Perempuan, Aktivis Desak Bawaslu Kirim Rekomendasi ke KPU
Pembaruan UU No.7 Tahun 2017 yang memastikan penempatan calon perempuan pada nomor urut kecil merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi No.20/PUU-XI/2013.
Peraturan KPU 10 Tahun 2023 hanya mengadopsi ketentuan Pasal 246 ayat (2) UU No 7 Tahun 2017.
KPU sebagai pelaksana UU mengabaikan ketentuan penjelasan Pasal 246 (2) UU No. 7 Tahun 2017 sehingga menimbulkan kerugian bagi bakal calon perempuan yang telah diafirmasi hak politiknya oleh UUD NRI, Putusan MK No.20/PUU-XI/2013 dan UU Pemilu.
“Demikian pula instrumen teknis sistem informasi pencalonan (SILON) juga tidak mendukung partai politik untuk menempatkan perempuan pada nomor urut kecil,” jelas Titi.
Sebagai gambaran pada Pemilu 2014 dan 2019, apabila partai mengusung 9 orang bakal caleg, maka minimal caleg perempuan yang harus diajukan partai adalah sebanyak 3 orang.
KPU mengatur hal itu dalam PKPU 7/2013 dan PKPU 20/2018, dalam hal perempuan caleg ditempatkan pada nomor urut kecil misalnya 1, 3, dan 4. Maka KPU membolehkan apabila pada nomor urut 7, 8, dan 9 tidak terdapat perempuan caleg karena sudah mendapatkan afirmasi ditempatkan pada nomor urut kecil sesuai ketentuan Penjelasan Pasal 246 UU 7/2017.
Baca juga: Berdampak Pada Kurangnya Keterwakilan Perempuan, Gerindra Kritisi PKPU 10/2023
Namun amat disayangkan, lanjut Titi, PKPU 10/2023 dan SILON yang digunakan KPU saat ini untuk Pemilu 2024 melarang penerapan afirmasi penempatan nomor urut sebagaimana praktik Pemilu 2014 dan 2019.
PKPU 10/2023 dan SILON akan menolak pengajuan bakal caleg yang diajukan sebagaimana ilustrasi di atas. Sebaliknya, SILON hanya akan menerima pengajuan daftar caleg ansich setiap 3 caleg memuat paling sedikit 1 perempuan caleg dan menolak menerapkan afirmasi penempatan perempuan pada nomor urut kecil sebagaimana penerapan pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
“Jika tak kunjung direvisi, PKPU bakal berdampak luas bagi pelaksanaan dan perlindungan hak politik perempuan untuk berpartisitasi sebagai calon anggota DPR dan DPRD,” tutur Titi.
“Selain itu kelambanan penetapan revisi PKPU juga dapat menimbulkan kerumitan teknis bagi KPU dan partai politik peserta pemilu untuk mengkaselerasi regulasi,” tambahnya menegaskan.