Pengamat Sebut Politik Baju hanya Simbol, Bukan Bagian dari Pemenangan
Pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin angkat bicara soal politik baju yang dilakukan capres PDIP Ganjar Pranowo jelang Pilpres 2024.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin angkat bicara terkait politik baju yang dilakukan capres PDI Perjuangan Ganjar Pranowo jelang Pilpres 2024.
Ujang mengatakan, bukan merupakan bagian dari kemenangan, melainkan hanya simbol tim pemenangan capres tersebut semata.
Terkait hal itu, ia menyinggung politik baju yang dilakukan Joko Widodo (Jokowi) saat maju di Pilkada DKI 2012 silam.
Ia menduga, kemenangan Jokowi bukan terletak pada politik baju, tapi sesuatu yang lain.
"Kemenangan Pilkada di 2012 melalui politik baju, ya di situ ada politik baju, tapi di bawah bajunya kan ada apa, gitu kan. Ada amplop kah, ada rupiah kah, kan begitu," kata Ujang, saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (25/7/2023).
"Jadi kalau politik simbol baju aja bagi saya bukan sesuatu yang aneh, bukan sesuatu yang menjual untuk sebagian dari pemenangan. Bukan. Itu sebagai simbol bagi tim. Tapi kalau dari kemenangannya kalau dari simbol baju, enggaklah. Tapi di bawah baju itu ada apa. Kita tidak tahu," sambungnya.
Terkait hal itu, Ujang menyebut, baju bukan menjadi bagian dari pemenangan seorang calon pemimpin.
"Kalau karena politik bajunya enggak. Karena setiap capres juga punya baju, caleg juga punya baju, bupati wali kota juga punya baju. Tapi yang paling penting di bawah bajunya apa," ucapnya.
Lebih lanjut, baju kemeja putih bergaris-garis vertikal berwarna hitam yang dikenalkan Ganjar juga belum tentu berpengaruh terhadap elektabilitas capres dari PDI Perjuangan itu jelang 2024.
Sebab, Ujang menuturkan, banyak faktor yang dapat mempengaruhi elektabilitas seorang capres dan bukan hanya melalui baju yang dikenalkannya tersebut.
"Ya harus diuji soal elektabilitas soal baju itu. Karena elektabilitas itu kenaikannya oleh berbagai macam faktor. Banyak faktornya. Jadi bukan hanya melalui politik baju itu. Karena kan sekarang bajunya sudah kontradiktif nih siapa yang ide desainnya, apakah FX Rudy ataukah Jokowi. Sekarang sedang ramai itu, menjadi kontradiktif," kata Ujang.
"Bisa saja politik baju dimunculkan. Tetapi saya melihatnya, simbol baju itu tidak terlalu bagus, tidak terlalu penting untuk menaikkan elektabilitas," lanjutnya.
"Walaupun misalkan nanti ada kenaikan elektabilitas. Tapi bukan dominan dari faktor baju, karena yang paling penting di bawah baju ada apa. Itu sebenarnya kalau kita ingin menilai objektif sesuatu."