Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Profil Hakim Enny Nurbaningsih yang Curhat dan Nangis Saat Diperiksa MKMK: Dipilih Presiden Jokowi

Hakim Enny diperiksa bersama dua hakim lainnya Anwar Usman, Arief Hidayat terkait dugaan pelanggaran etik

Editor: Erik S
zoom-in Profil Hakim Enny Nurbaningsih yang Curhat dan Nangis Saat Diperiksa MKMK: Dipilih Presiden Jokowi
MK - KOMPAS.COM
Profil Enny Nurbaningsih, hakim konstitusi yang turut diperiksa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait putusan usia capres-cawapres. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih membuat pengakuan mengejutkan usai diperiksa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Selasa (31/10/2023).

Hakim Enny diperiksa bersama dua hakim lainnya Anwar Usman, Arief Hidayat terkait dugaan pelanggaran etik berkaitan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia capres dan cawapres.

Pengakuan Enny, mereka curhat hingga menangis saat diperiksa MKMK.

Baca juga: 12 Tahun Jadi Hakim MK, Arief Hidayat Sangat Sedih dan Ngeri Dengar Istilah Mahkamah Keluarga

"Sudah habis kami nangisnya tadi," kata Enny kepada awak media, Selasa (31/10/2023) malam.

Siapa sosok Enny Nurbaningsih?

Enny adalah guru besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM).

Enny Nurbaningsih dilantik menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Istana Negara, Jakarta, Senin (13/8/2018).

Hakim Enny menggantikan hakim MK Maria Farida Indrati yang memasuki masa pensiun.

Berita Rekomendasi

Pengambilan sumpah jabatan terhadap Enny disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo 

Enny lahir di Pangkal Pinang pada 27 Juni 1962. Adapun latar belakang pendidikannya, Enny merupakan sarjana dari Fakultas Hukum UGM Yogyakarta pada tahun 1981. Kemudian ia menamatkan program Pascasarjana di Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 1995.

Enny juga berhasil meraih gelar doktor pada program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM dengan tesis berjudul "Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah dalam Peraturan Daerah".

Selain itu, Enny juga memiliki rekam jejak karier yang beragam di bidang hukum. Beberapa di antaranya seperti, Staf Ahli Hukum DPRD Kota Yogyakarta, Kepala Bidang Hukum dan Tata Laksana UGM, Sekretaris Umum Asosiasi Pengajar HTN-HAN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Legal consultant di Swisscontact hingga menjadi penasihat pada Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah.

Ia juga berkarier sebagai Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Enny juga pernah meraih penghargaan tanda kehormatan Satyalancana Karya Satya 10 tahun. Penghargaan ini diberikan kepada pegawai negeri sipil yang telah mengabdi selama 10 tahun dengan menunjukkan kesetiaan, kedisiplinan, pengabdian dan keteladanan bagi pegawai lainnya.

Nama Enny pada akhirnya dipilih Presiden Joko Widodo di antara dua nama lainnya, yaitu Profesor Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia Ni'matul Huda dan Dosen Senior Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Susi Dwi Harijanti.

Bekerja dalam Sunyi

Terpilih sebagai hakim konstitusi, Enny menyadari bahwa sebagai seorang hakim konstitusi mengandung arti bekerja dalam sunyi di tengah keramaian.

Ia menyadari tugas hakim konstitusi untuk memutus sebuah perkara berada dalam posisi tegak lurus. Tegak lurus yang Enny maksudkan, yakni tidak boleh ada keberpihakan.

Hal inilah yang menyebabkan ruang gerak seorang hakim konstitusi menjadi ‘sempit’ dalam kehidupan sosialnya.

“Apalagi jika di sekitar kita banyak orang yang mengajukan perkara ke MK, maka akan semakin sempit ruang geraknya. Apalagi se¬orang hakim konstitusi tidak boleh berinteraksi dengan orang yang berperkara. Semakin banyak orang sekelilingnya yang berperkara di MK berarti mempersempit ruang hakim untuk banyak berhubungan. Jadi, hakim bekerja dalam ruang yang sunyi di tengah keramaian,” kata dia dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi..

Bagi Enny, ‘kesunyian’ tersebut juga diartikan bahwa seorang hakim konstitusi yang memutus perkara, maka ia akan ‘tenggelam’ untuk mempelajari perkara yang diperiksanya. Tapi, Enny menganggap hal iu bukanlah sebuah penderitaan yang harus dijalani seseorang yang menjabat sebagai hakim konstitusi.

“Menjadi hakim konstitusi itu ibaratnya saya berada dalam silent position. Hakim konstitusi merupakan satu jabatan yang tidak banyak berbicara keluar dan cukup berbicara lewat putusan, maka ia tidak boleh terpengaruh dan dipengaruhi siapapun,” paparnya.

Sebelumnya, Enny yang menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) berada di lingkup eksekutif yang menuntut adanya interaksi.

Sementara kini, sebagai hakim konstitusi, ia dituntut untuk menjadi sosok yang akrab dengan kesunyian. Ia berusaha untuk membatasi diri dalam berinteraksi. Hal itu dilakukannya demi menjaga integritasnya sebagai hakim konstitusi.

Enny tak memungkiri beban berat yang ditanggungnya sebagai hakim konstitusi yang harus pandai menempatkan diri agar terhindar dari konflik kepentingan. Akan tetapi, ia sudah mempersiapkan diri untuk mengambil risiko tersebut ketika ia memutuskan untuk mengisi posisi sebagai hakim konstitusi.

Ibu satu putri ini bahkan sudah mempelajari dengan saksama The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang mencantumkan enam prinsip yang menjadi pegangan bagi para hakim, yaitu prinsip independensi (independence), ketidakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), serta kecakapan dan kesaksamaan (competence and diligence).

“Ketika saya menyatakan untuk ikut mendaftar sebagai hakim konstitusi, saya sudah belajar do and don’t sebagai hakim konstitusi seperti yang tercantum dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct. Kemudian hal itu saya pahami dengan sungguh-sungguh karena sebagai seorang hakim bagaimanapun juga harus dihindari conflict of interest,” tegas penyuka olahraga renang ini. (Kompas.com/Mahkamah Konstitusi)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas