Anwar Usman Langgar Etik Berat, Kenapa Tak Dipecat sebagai Hakim Konstitusi? Ini Kata Jimly
Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie ungkap alasan Anwar Usman tak dipecat sebagai hakim konstitusi meski lakukan pelanggaran etik berat.
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.COM - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah membacakan putusan nomor 2/MKMK/L/11/2023 terkait pelanggaran etik hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dengan terlapor Anwar Usman.
Putusan itu dibacakan dalam sidang yang digelar di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (7/11/2023) sore.
Sidang ini dipimpin oleh majelis yang terdiri atas Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie serta anggota Bintan R Saragih dan Wahiduddin Adams.
MKMK menyatakan Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat yang tertuang dalam Sapta Karsa Utama seperti prinsip ketakberpihakan hingga kesopanan.
MKMK hanya menjatuhkan sanksi berupa pencopotan Anwar Usman sebagai Ketua MK. Itu artinya ia masih menjadi hakim MK.
Dalam putusan MKMK, hakim Bintan R Saragih memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Baca juga: Respons Putusan MKMK, Mahfud MD: di Luar Ekspektasi Saya
Dalam dissenting opinion itu, Anwar Usman semestinya tidak hanya diberhentikan dari jabatan Ketua MK, namun juga dipecat sebagai hakim MK.
Hal ini lantaran pelanggaran yang dilakukan Anwar Usman merupakan pelanggaran berat.
Lantas mengapa Anwar Usman tak diberhentikan dengan tidak hormat (PTDH) atau dipecat meski telah melakukan pelanggaran etik berat?
Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie mengungkapkan alasan Anwar Usman hanya dicopot dari jabatan ketua MK.
Jimly mengacu pada Peraturan MK (PMK) Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK.
Ia menjelaskan, hakim yang dijatuhi sanksi PTDH diberikan kesempatan untuk membela diri atas penjatuhan sanksi tersebut.
Pembelaan diri itu, kata Jimly, bisa dilakukan melalui mekanisme banding.
Jimly menuturkan hal itu justru akan membuat ketidakpastian hukum atas putusan MKMK.
"Kalau sanksinya adalah sebagaimana ditentukan PMK pemberhentian tidak hormat dari anggota maka itu di haruskan diberi kesempatan untuk majelis banding."
"Majelis banding dibentuk berdasarkan PMK itu. Nah, membuat putusan majelis kehormatan tidak pasti," kata Jimly, Selasa (8/11/2023) dikutip dari YouTube KompasTV.
Jimly mengingatkan, saat ini Indonesia sedang menghadapi proses persiapan Pemilu 2024.
Indonesia memerlukan kepastian hukum yang adil menjelang pemilu agar damai dan terpercaya.
Kepastian hukum itu bisa didapat dengan putusan yang menyatakan Anwar Usman diberhentikan dari jabatan Ketua MK.
Sebab, putusan itu bisa langsung berlaku pada hari Selasa (7/11/2023) dan penggantian Ketua MK bisa dilakukan dalam waktu 2 x 24 jam.
"Sedangkan kita sedang menghadapi proses persiapan pemilihan umum yang sudah dekat."
"Oleh karena itu, kami memutuskan berhenti dari ketua sehingga ketentuan mengenai majelis banding tidak berlaku. Karena tidak berlaku, maka putusan MKMK yang dibaca mulai berlaku."
Sehingga kepastian hukum jelang Pemilu 2024 akan didapat," jelas Jimly.
Denny Indrayana: Putusan Bisa Tetap Dijalankan Lebih Dulu Meski Ada Upaya Hukum Banding
Di sisi lain Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, memberikan pendapat yang berbeda dengan Jimly.
Denny memprihatinkan pertimbangan MKMK yang memutus Anwar Usman tersebut hanya karena menghindari banding.
Padahal menurutnya, putusan MKMK bisa dijalankan terlebih dahulu meskipun ada upaya banding dari hakim yang dijatuhi sanksi tersebut.
"Karena alasan menghindari banding, MKMK memilih hanya memberhentikan Anwar Usman dari posisi sebagai Ketua MK."
"Lagipula ada konsep hukum acara, uitvoerbaar bij voorraad, putusan bisa tetap dijalankan lebih dulu meskipun ada upaya hukum banding. "
"Putusan MKMK yang demikian adalah setengah jalan, separuhnya lagi tergantung kesadaran Anwar Usman," kata Denny dalam keterangannya yang diterima Tribunnews.com, Rabu (8/11/2023).
Pakar Hukum Tata Negara menegaskan, aturan bagi hakim yang melakukan pelanggaran berat hanya PTDH.
"Padahal aturannya dengan jelas-tegas mengatakan, pelanggaran etika berat sanksinya hanyalah pemberhentian dengan tidak hormat," ucapnya.
Atas temuan pelanggaran etik berat itu, Denny Indrayana pun meminta Anwar Usman tahu diri dan mundur sebagai hakim konstitusi.
"Akan lebih pas jika Anwar Usman tahu diri dan mundur sebagai hakim konstitusi," kata Denny.
"Meskipun, terus terang saya tidak yakin, tindakan yang terhormat demikian akan dilakukan," lanjutnya.
Denny menyinggung soal sisa harga diri dan rasa malu Anwar Usman jika memilih bertahan sebagai hakim konstitusi.
"Setelah dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat, yaitu melanggar Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, masih adakah sisa harga diri dan rasa malunya untuk bertahan," kata Denny.
Anwar Usman Dapat Sanksi Paling Berat
MKMK telah menjatuhi sanksi etik kepada sembilan hakim MK, Selasa (7/11/2023).
Dalam putusannya, MKMK menjatuhi teguran lisan hingga sanksi berat berupa pencopotan jabatan yang dijatuhkan kepada Anwar Usman.
Sanksi lisan dijatuhkan kepada seluruh hakim MK lantaran bocornya RPH ke publik lewat artikel yang diterbitkan oleh salah satu media massa online nasional.
Selain itu, adapula putusan etik yang dijatuhkan secara perseorangan kepada hakim MK, yakni hakim konstitusi, Arief Hidayat.
MKMK menjatuhi sanksi teguran tertulis kepada Arief lantaran dinilai menyudutkan martabat MK di depan publik ketika menjadi pembicara di acara Konferensi Hukum Nasional di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) serta dalam siniar (podcast) di salah satu media nasional.
Sanksi paling berat dijatuhkan kepada Anwar Usman.
MKMK juga menjatuhkan sanksi berupa pencopotan Anwar Usman sebagai Ketua MK.
MKMK menyatakan Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik berat yang tertuang dalam Sapta Karsa Utama seperti prinsip ketakberpihakan hingga kesopanan.
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor," kata ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, Selasa.
Selain itu, MKMK juga menjatuhi sanksi kepada Anwar Usman untuk tidak boleh mencalonkan diri sebagai pimpinan MK hingga masa jabatan berakhir.
"Hakim terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan," pungkas Jimly.
(Tribunnews.com/Milani Resti/Yohanes Liestyo Poerwoto)